Model Pendidikan Anak generasi islam terdahulu

Posted on
  • by
  • ابوالياس
  • in
  • Label:
  • Berikut adalah contoh yang memperlihatkan semangat para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallama.
    Meski jauhnya tempat mereka dan tahu tentang kesulitan di dalam melakukan safar, bahaya yang ada di jalan dan jauhnya jarak perjalanan, namun mereka lebih memilih untuk berpisah dengan buah hati mereka dalam rangka menuntut ilmu, bahkan mereka tak segan kehilangan harta untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak memberikan manfaat untuk diri mereka sendiri lalu untuk Islam dan kaum Muslimin.

    Adalah ‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi berkata: “Bapakku memberikan 100 dirham kepadaku dan berkata, ‘Pergilah dan tempuhlah perjalananmu untuk mencari ilmu. Aku tidak mau melihat wajahmu kecuali bersamamu ada 100.000 hadits’. “
    Berangkatlah ia pergi mencari ilmu. Kemudian dia kembali untuk menyebarkannya, sampai datang ke majelisnya lebih dari 30.000 orang.
    Al-Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “ Bapakku menulis surat kepadaku, ketika aku berada di Kuffah, ‘ Belilah lembaran-lembaran dan tulislah ilmu, karena harta itu akan lenyap dan ilmu akan abadi’.”
    Berikut pesan Ibnu Al-Wardi kepada puteranya di dalam Laamiyah beliau yang terkenal, yang juga merupakan pesan bagi setiap anak setiap penuntut ilmu, meski hari dan tahun silih berganti.
     
    Wahai anakku! Dengarkanlah beberapa wasiat yang menghimpun
    banyak hikmah, yang dikhususkan dengannya sebaik-baik agama
    Carilah ilmu dan janganlah malas, betapa jauhnya kebaikan bagi orang yang malas
    Berkumpullah untuk memahami agama, dan janganlah kamu
    disibukkan dengan harta dan kekayaan
    Tinggalkanlah tidur dan dapatkanlah ilmu, maka barangsiapa
    tahu apa yang dicari, akan meremehkan apa yang dia keluarkan
    Jangan kamu katakana bahwa para pemilik ilmu telah hilang
    pasti akan sampai setiap yang melangkah di atas jalan.

    Dahulu para ahli hikmah berkata, “Barangsiapa menjadikan dirinya begadang di waktu malam, berarti telah mejadikan hatinya bahagia di waktu siang.”
    Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir.”
    Inilah beberapa gambaran cemerlang tentang semangat orang tua dalam mendidik anak-anak mereka, mengawasi dan menganjurkan mereka untuk mencari ilmu. Karena sesungguhnya tidak akan berpaling dari menuntut ilmu dan meremehkannya kecuali orang bodoh yang tidak mengetahui kebaikan agama dan dunianya. Sebagaimana perkataan Al-Imam Ahmad, “Tidak akan patah semangat untuk mencari ilmu kecuali orang yang bodoh.”
    Ibnu Al-Jauzi berkata memberikan pesan kepada anaknya dan menganjurkannya untuk sibuk mencari ilmu, “Ketahuilah bahwa ilmu akan mengangkat orang-orang yang rendah kedudukannya. Sungguh banyak dari kalangan ulama yang tidak mempunyai nasab yang terkenal maupun rupa yang tampan. “
    Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah adalah seorang yang berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka. Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.”
    Al-Hasan adalah seorang bekas budak, juga Ibnu Sirrin Makhul dan banyak lagi lainnya. Mereka dimuliakan tidak lain karena ilmu dan ketakwaan.
     
    Ahmad bin An-nadhar Al-Hilali berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Dahulu aku berada di majelis Sufyan bin ‘Uyainah, lalu beliau melihat anak kecil yang masuk ke adalam masjid. Orang-orang yang berada di dalam majelis meremehkannya karena masih kecil umurnya, maka Sufyan berkata,
    “Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atasmu.” (An-Nisa’: 94)
    Kemudian berkata, “Wahai Nadhar! Seandainya kamu melihat aku dahulu ketika berusia sepuluh tahun. Tinggiku lima jengkal. Wajahku seperti uang dinar. Aku seperti kayu bakar. Bajuku kecil dan lengan bajuku pendek. Bekas langkahku banyak dan sandalku seperti telinga tikus. Aku bolak-balik pergi ke tempat para ulama di berbagai penjuru seperti Az-Zuhri dan ‘Amr bin Dinar. Aku duduk di antara mereka seperti paku. Tempat tintaku seperti anggur kuning, tempat penaku seperti pisang dan penaku seperti buah badam. Jika aku masuk ke majelis, mereka berkata ‘Lapangkanlah tempat duduk untuk syaikh kecil.’ Bapakku berkata, ‘Kemudian Ibnu ‘Uyainah tersenyum dan tertawa.’ Ahmad berkata, ‘bapakku pun tersenyum dan tertawa’.”
    Alasan Sufyan Ats-Tsauri lebih awal untuk menuntut ilmu dan sibuk dengannya adalah karena dorongan semangat dari ibunya, dan anjuran terhadapnya untuk menuntut ilmu serta arahan darinya agar mengambil faedah dari apa yang telah diketahui dan dari bermajelis dengan para ulama. Ilmunya juga harus memberikan pengaruh pada akhlak dan tingkah laku serta pergaulannya bersama manusia. Jika tidak maka apa manfaat ilmu?
     
    Sang ibu berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, mendorongnya untuk pergi ke halaqah-halaqah ilmu dan duduk bersama para syaikh, “Wahai anakku! Ambillah, ini sepuluh dirham. Pelajari sepuluh hadits. Jika kamu dapatkan bisa mengubah cara duduk, berjalan, dan bicaramu bersama manusia, maka datanglah kepadanya dan aku akan membantumu dengan hasil tenunanku ini. Jika tidak maka tinggalkanlah. Karena aku takut dengan ilmu itu akan menjadi malapetaka bagimu di hari kiamat.”
    Sang ibu bekerja keras demi menafkahi anaknya, sehingga sang anak benar-benar mencurahkan waktunya untuk menimba ilmu. Sementara ibunya senantiasa memberikan pesan dan nasihat di sela-sela kesibukan anaknya menimba ilmu. Suatu kali ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-imam Ahmad: “Wahai anakku, jika kamu menulis 10 huruf, maka lihatlah! Engkau amati, bertambahkah rasa takutmu (kepada Allah Azza wa Jalla), sikap santun, dan kedewasaanmu (kewibaanmu)? Jika tidak, maka hal itu akan memberi mudharat dan tidak membawa manfaat bagimu.”
     
    Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada anaknya ketika sedang mendidiknya, “Wahai anakku! Jika kamu duduk bersama para ulama, jadilah kamu lebih semangat untuk diam daripada untuk berbicara belajarlah cara mendengar yang baik. Janganlah kamu memotong pembicaraan seseorang meski panjang, sampai dia sendiri yang berhenti.”
     
    Al-Imam Malik bercerita: “Aku berkata pada ibuku, ‘Bolehkah aku pergi untuk menulis ilmu?’ Ibuku menjawab, ‘Kemarilah, pakailah baju ilmu’. Beliau memakaikan untukku baju berkancing, meletakan songkok di atas kepalaku dan memakaikan sorban untukku di atasnya, kemudian berkata, ‘Berangkat dan tulislah sekarang. Pergilah ke Rabi’ah, pelajari adabnya sebelum ilmunya’.”
    =======================================================
    Tuturan di atas adalah sedikit dari contoh dan gambaran yang cemerlang dari perjalanan hidup kaum salaf yakni dara kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhuma dan para generasi setelah mereka dari kalangan ahli ilmu rahimahumullahu Ta’ala dalam hal pendidikan anak. Contoh-contoh tersebut semestinya membangkitkan decak kagum dalam lubuk jiwa kita.
     
    Ketika kita prihatin bahwa sebagian anak-anak kita pada usia belasan tidak bisa berwudhu’ dengan benar, tidak mengerti kewajiban shalat berjama’ah, tidak pula hafal satu hadits dari hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alayhi wasallama. Menyayat hati dan menjadikan mata berlinang adalah ketika melihat pemuda-pemuda umat pada usia seperti itu, mereka tidak mencari ilmu dan tidak baik akhlaknya. Mereka terbawa oleh berbagai permainan yang melalaikan. Media-media berupa tontonan dan gambar-gambar yang merusak. Dan akhirnya kita menemukan mereka ketika telah dewasa dan dalam keadaan minder terhadap agama mereka sendiri. Wallahul Musta’an. Ketika kita prihatin memperhatikan keadaan anak-anak muda zaman sekarang berupa kebandelan dan kenakalan dan juga melihat kelalaian serta bodohnya pihak orang tua, lalu bandingkan dengan keadaan kaum salafush shalih.
     
    Namun janganlah berputus asa. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mampu memperbaiki keadaan kaum salaf, Maha Mampu untuk memperbaiki keadaan orang-orang yang datang kemudian. Umat ini bagaikan siraman hujan, kebaikan terdapat pada awalnya, tengah-tengahnya dan penghujungnya. Oleh karena itu –setelah taufiq dari Allah- ada ditangan kita. Hal itu dapat digapai jika kita melakukan berbagai upaya. Kita berupaya untuk mencari terapi penyembuhannya, membenahi kesalahan dan meluruskan kebengkokan. Wahai para ayah dan ibu, singsikan lengan kesungguhan dan usahakan sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak, serta curahkanlah segenap kemampuan dan daya upaya untuk melakukannya.

    Maka bisakah kita meniru mereka?
    “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)

    Dari Abdullah ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhumua, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallama bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dipinta pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
     
    Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.” (Adabud Dunyaa wad Diin, karya Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, hal.48)
     
    Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Pelajarilah oleh kalian ilmu, karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah khasy-yah; mencarinya adalah ibadah; mempelajarinya dan mengulangnya adalah tasbiih; membahasnya adalah jihad; mengajarkannya kepada yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah; memberikannya kepada keluarganya adalah pendekatan diri kepada Allah; karena ilmu itu menjelaskan perkara yang halal dan yang haram; menara jalan-jalannya ahlul jannah, dan ilmu itu sebagai penenang di saat was-was dan bimbang; yang menemani di saat berada di tempat yang asing; dan yang akan mengajak bicara di saat sendirian; sebagai dalil yang akan menunjuki kita di saat senang dengan bersyukur dan di saat tertimpa musibah dengan sabar; senjata untuk melawan musuh; dan yang akan menghiasainya di tengah-tengah sahabat-sahabatnya..” (Ibid. 1/55)


    —————————————————————————————-

    [Dikutip dari Terjemah Warotsah Al-Anbiya “Pewaris Para Nabi” oleh ‘Abdul Malik bin Muhammad Al-Qosim, Penerbit: Cahaya Ilmu Press & Terjemah At-taqshiir fii Tarbiyati Al-Aulaad “38 Kesalahan Mendidik Anak” oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd Penerbit: Pustaka Ar-Rayyan serta tambahan lainnya dari berbagai sumber]

    0 komentar:

    Posting Komentar

    koment :

     
    Copyright (c) 2011 Moslemblog's byAbu ilyas.