 Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,  demikian kata pepatah. Dan kiranya kalau kita mau sekadar  mencocok-cocokkan, pepatah ini bisa berlaku pada anak Adam. Maksudnya  bagaimana? Coba kita perhatikan seorang anak dari suatu keluarga.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,  demikian kata pepatah. Dan kiranya kalau kita mau sekadar  mencocok-cocokkan, pepatah ini bisa berlaku pada anak Adam. Maksudnya  bagaimana? Coba kita perhatikan seorang anak dari suatu keluarga. Demikianlah Allah subhanahu wa  ta’ala mengatur ciptaan-Nya, karena itu hendaknya manusia  pandai-pandai bersyukur kepada-Nya dan memperhatikan dirinya dari apa ia  diciptakan, sebagaimana Dia Yang Maha Tinggi berfirman:
فَلْيَنظُرِ اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
“Maka hendaklah manusia memperhatikan  dari apakah dia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang  keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.” (Ath Thariq: 5-7)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu  ta’ala (4/498): “Firman Allah ta’ala: (Ia  diciptakan dari air yang terpancar), yakni air yang keluar  dengan terpancar dari laki-laki dan perempuan, maka akan terjadilah  (lahirlah) anak dari keduanya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla,  dan karena itu Dia berfirman: (yang keluar dari antara tulang  sulbi dan tulang dada), yakni dari tulang sulbi laki-laki dan  tulang dada perempuan.”
Dari ayat di atas dapat kita pahami  bahwa Allah menciptakan anak manusia dengan pertemuan air mani yang  terpancar yang keluar dari sepasang suami istri tatkala keduanya  melakukan jima’. Lalu Dia jadikan anak itu laki-laki atau perempuan,  serupa dengan ayah atau ibunya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan  Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa.
Bagaimana Anak yang Terlahir Bisa Laki-laki dan Bisa Perempuan, dan Bagaimana Bisa Terjadi Penyerupaan dengan Orang Tua?
Anda mungkin sedang menanti-nantikan  lahirnya anak laki-laki di tengah keluarga atau sebaliknya Anda sedang  mendambakan lahirnya anak perempuan. Sebenarnya bagaimana sih prosesnya  sehingga anak yang lahir bisa laki-laki dan bisa perempuan, bisa serupa  ayahnya atau ibunya?
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari  Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, ia berkata: Abdullah bin  Salam (seorang Yahudi) mendengar berita kedatangan Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam di Madinah. Maka ia pun mendatangi beliau, lantas  berkata: “Aku akan menanyaimu dengan tiga perkara, tidak ada yang  mengetahui jawabannya kecuali Nabi.” Lalu ia mulai bertanya: “Apa tanda  awal datangnya hari kiamat? Makanan apa yang pertama kali disantap  penduduk surga? Apa sebab seorang anak bisa serupa dengan bapaknya dan  apa sebab bisa serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya)?” Maka  Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menjawab: “Baru saja  Jibril mengabarkan kepadaku.” Maka berkata Abdullah: “Jibril adalah  musuh Yahudi dari kalangan malaikat.” Rasulullah shallallahu ‘alahi  wasallam lalu menjawab (tiga pertanyaan tersebut):
أَمَّ أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلىَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبَدِ حُوْتٍ. وَأَمَّا الشِّيْهُ فِيْ الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشَّى الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشِّبْهُ لَهُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشِّبْهُ لَهَ. قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ. (حديث صحيح رواه البخاري)
“Adapun tanda awal terjadinya hari  kiamat adalah keluarnya api yang akan mengumpulkan manusia dari timur ke  barat. Makanan yang pertama kali disantap penduduk surga adalah hati  ikan yang besar. Sedangkan masalah penyerupaan anak, apabila suami  menggauli istrinya lalu air maninya keluar mendahului air mani istrinya  maka anak (yang akan lahir) itu serupa dengan dirinya. Apabila air mani  istrinya keluar lebih dulu maka anak itu akan serupa dengan istrinya.”  Mendengar jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam,  Abdullah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.”  (Abdullah bin Salam kemudian masuk islam, radhiyallahu ‘anhu-pen).
Dari hadits di atas dapat dipahami  bahwasanya wanita juga mengeluarkan mani sebagaimana laki-laki dan  dengan mani itulah anak bisa serupa dengan ayah atau ibunya.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha  meriwayatkan bahwasanya Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berkata  kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلىَ الْمَرْأَةِ الْغُسْلَ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ. فَضَحِكَتْ أُمَّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ: تَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: فِيْمَا تُشْبِهُ الْوَلَدَ؟ (رواه البخاري جـ٣٣٢٨)
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah  tidak malu dari perkara yang haq. Apakah wanita juga harus mandi jika ia  bermimpi (ihtilam)?” Beliau menjawab: “Ya, apabila melihat  air.” Maka tertawalah Ummu Salamah dan berkata: “Apakah wanita juga  mimpi (ihtilam)?” Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi  wasallam: “Bagaimanakah bisa terjadi penyerupaan anak?” (HR Bukhari  no. 3328)
هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: (نَعَمْ) فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأَلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم دَعِيْهَا، وَهَلْ يَكُوْنُ الشَّبْهُ إِلاَّ مِنْ قِبَلِ ذَلِكَ، إِذَا عَلاَ مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلاَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْيَهُ أَعْمَامَهُ.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha  bahwasanya seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu  ‘alahi wasallam: “Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi  dan melihat air?” Beliau menjawab: “Ya.” Maka ‘Aisyah berseru: “Taribat  yadaki.” (kalimat pengingkaran yang ditujukan ‘Aisyah kepada  wanita tersebut karena ia bertanya dengan pertanyaan demikian-pen).  Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Biarkan dia,  dari manakah persamaan bila  tidak dari demikian. Bila air mani  perempuan melebihi air mani laki-laki maka anak (yang terlahir) akan  serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya) dan  bila air mani laki-laki melebihi air mani perempuan maka anak akan  serupa dengan a’mamnya (keluarga ayahnya).”  (HR Imam Muslim hal. 251 Tartib Muhammad Fuad Abdul Baqi)
Dari hadits ‘Aisyah di atas dipahami  bahwa pengunggulan dari air mani yang keluar, dengan izin Allah  merupakan sebab penyerupaan anak. Dalam hadits lain yang juga  diriwayatkan Imam Muslim dari Tsauban maula Rasulullah shallallahu  ‘alahi wasallam dijelaskan bahwa pengunggulan merupakan sebab anak  yang terlahir itu laki-laki atau perempuan, dengan izin Allah. Yakni  ketika datang seorang pendeta Yahudi kepada Nabi shallallahu ‘alahi  wasallam. Ia bertanya tentang beberapa perkara, salah satunya ia  bertanya tentang anak. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam  menjawab:
مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ فَإِذَا اجْتَمَعَا فَعَلاَ مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلاَ مَنِيُّ الْمَرْأَة مَنِيَّ الرَّجُلِ أُنْثًا بِإِذْنِ اللهِ.
“Air mani laki-laki itu warnanya putih  sedang air mani perempuan itu kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu  air mani laki-laki lebih banyak dari air mani perempuan maka anak (yang  akan lahir) laki-laki, dengan izin Allah. Bila air mani perempuan lebih  banyak dari air mani laki-laki maka anak (yang akan lahir) perempuan,  dengan izin Allah….” (HR Muslim no. 315)
Asy Syaikh Musthafa Al Adawi dalam  kitabnya Ahkamun Nisa’ mengatakan bahwasanya dari kedua hadits  tersebut (hadits ‘Aisyah dan hadits Tsauban) menjadi jelaslah bahwa  pengunggulan merupakan sebab penyerupaan anak dan sebab anak itu  laki-laki atau perempuan. Artinya bila air mani laki-laki lebih banyak  dari mani perempuan maka anaknya laki-laki serupa dengan a’maamnya  (keluarga ayah). Sebaliknya bila air mani perempuan lebih banyak dari  mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan akhwalnya  (keluarga ibunya).
Namun terkadang kita dapatkan justru  sebaliknya. Ada anak laki-laki tapi serupa dengan akhwalnya  dan kadang ada anak perempuan yang serupa dengan a’maamnya,  karena sebab itulah sebagian ulama mengarahkannya kepada ta’wil.  Di antaranya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau  menakwilkan kata “al ‘uluw” dalam hadits ‘Aisyah dengan makna “As  Sabq” (mendahului), sedangkan kata “al ‘uluw” pada hadits  Tsauban, sesuai dengan makna zhahirnya (yakni unggul/melebihi). (Fathul  Bari 7/273)
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul  Bari (7/273): “As Sabq” merupakan tanda (anak yang  akan lahir) laki-laki atau perempuan sedangkan “Al ’uluw”  sebagai tanda keserupaan.” Kemudian Al Hafizh melanjutkan: “Seakan-akan  yang dimaksud dengan “Al ’uluw” yang merupakan sebab keserupaan  itu adalah bila mani dari salah satunya (laki-laki atau perempuan)  keluar dalam jumlah yang banyak sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan  keadaan ini maka tercapailah keserupaan. Perkara ini ada enam keadaan:
Pertama: Apabila mani  laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului mani perempuan. Maka anak  yang akan lahir laki-laki dan serupa dengan ayah/keluarga ayahnya.
Kedua: Sebaliknya, bila  mani perempuan lebih banyak dan keluar mendahului mani laki-laki, maka  anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan ibu/keluarga ibunya.
Ketiga: Bila mani laki-  laki keluar lebih dahulu namun mani perempuan lebih banyak, maka akan  lahir anak laki-laki dan serupa dengan ibunya.
Keempat: Sebaliknya,  bila mani perempuan keluar lebih dahulu namun mani laki-laki lebih  banyak maka akan terlahir anak perempuan dan serupa dengan ayahnya.
Kelima: Bila mani  laki-laki keluar mendahului mani perempuan dan sama banyaknya maka akan  terlahir anak laki-laki dan tidak khusus penyerupaannya dengan ayah dan  ibunya.
Keenam: Sebaliknya,  bila mani perempuan mendahului mani laki-laki dan sama banyaknya maka  akan lahir anak perempuan dan tidak khusus penyerupaannya.”
Semuanya itu bisa terjadi dengan izin  Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Dia menghendaki akan terjadi  dan bila tidak maka tidak mungkin akan terjadi.
Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Ahkamun Nisa’, Asy  Syaikh Musthafa al Adawi
3. Ahkamut Thifl, Ahmad  Al ‘Aysawi
4. Fathul Bari, Ibnul  hajar Al Asqalani
5. Shahih Muslim Syarhun Nawawi,  Imam An Nawawi.
Sumber: Majalah SALAFY edisi XVIII/Shafar/1418/1997 Lembar Muslimah halaman 10-13, ditulis oleh Ibnatu Husein dan Abu Ishaq Al Atsary)
0 komentar:
Posting Komentar
koment :