 Dalam praktek shalat,  sebagian kaum muslimin ada yang meletakkan tangan dahulu sebelum lutut  pada saat akan sujud dan ada yang sebaliknya lutut dahulu kemudian  tangan. Jelaskan mana yang benar dalam masalah ini !.
Dalam praktek shalat,  sebagian kaum muslimin ada yang meletakkan tangan dahulu sebelum lutut  pada saat akan sujud dan ada yang sebaliknya lutut dahulu kemudian  tangan. Jelaskan mana yang benar dalam masalah ini !.Sebelum menguraikan perbedaan pendapat para ulama dan dalil setiap pendapat dalam masalah ini, terlebih dahulu kami akan detailkan letak perbedaan pendapat para ulama tersebut guna memahami masalah ini dengan baik dan benar.
Mendetailkan letak perbedaan pendapat termasuk perkara yang penting. Dan menelantarkan hal tersebut akan menimbulkan beberapa dampak yang negatif, diantaranya :
-Penggambaran masalah tidak  di atas hakikat sebenarnya.
-Timbulnya ketimpangan  dalam penerapan masalah.
-Lahirnya masalah-masalah  lain yang membuat permasalahan tersebut semakin rumit dan bertele-tele.
-Bisa mengantar ke jalur  berlebihan dalam masalah agama, padahal sikap berlebihan tersebut  merupakan perkara yang tercela dalam syari’at Islam yang penuh dengan  kemudahan ini.
Letak Perbedaan Pendapat  Dalam Masalah
Berkata Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 22\449 : “Adapun sholat dengan  keduanya (yaitu dengan meletakkan lutut sebelum tangan atau meletakkan  tangan sebelum lutut-pent.) adalah boleh menurut kesepakatan para  ‘ulama. Bila orang yang sholat menginginkan, (boleh) ia meletakkan kedua  lututnya sebelum kedua tangannya dan bila ia menginginkan, (boleh) ia  meletakkan kedua tangannya kemudian kedua lututnya dan sholatnya  shohihah (sah/benar) pada dua keadaan (tersebut) menurut kesepakatan  para ‘ulama. Tapi (para ‘ulama) berselisih tentang (mana) yang lebih  afdhol”.
Dari uraian Ibnu Taimiyah di atas, dapat ditarik kesimpulan  sebagai berikut :
-Para ulama sepakat bahwa  siapa yang sholat, baik ia meletakkan tangan dahulu kemudian lutut  ketika akan sujud atau ia mendahulukan lutut lalu tangannya, maka  shalatnya adalah sah dan benar.
-Para ulama sepakat bahwa  meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau sebaliknya, keduanya adalah  perkara yang boleh dilakukan dalam shalat.
-Letak perbedaan pendapat  para ulama hanyalah pada yang mana lebih afdhol (utama) antara  meletakkan tangan dahulu lalu lutut dan mendahulukan lutut kemudian  tangan.
Uraian Pendapat Para Ulama
Tentang mana lebih afdhol  antara meletakkan tangan dahulu lalu lutut atau mendahulukan lutut  kemudian tangan, ada tiga pendapat dikalangan para ‘ulama :
Pendapat pertama : Tangan dahulu kemudian lutut.  Ini pendapat Imam Al-Auza’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik dan  Imam Ahmad. Bahkan Ibnu Hazm berlebihan dalam menguatkan pendapat ini  sehingga beliau menganggap bahwa meletakkan tangan sebelum lutut adalah  perkara yang wajib. 
Pendapat kedua : Lutut dahulu kemudian tangan.  Ini pendapat Muslim bin Yasar, An-Nakh’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Abu  Hanifah dan dua muridnya Muhammad dan Abu Yusuf, Asy-Syafi’iy, Ahmad,  Ishaq bin Rahawaih dan Ibnul Mundzir. Pendapat ini juga dihikayatkan  dari ‘Umar bin Khaththab dan anaknya ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma.  At-Tirmidzy dan Al-Khaththaby mengatakan bahwa ini adalah pendapat  kebanyakan para ‘ulama.
Pendapat ketiga : Boleh tangan dahulu kemudian lutut  dan boleh lutut dahulu kemudian tangan. Pendapat ini  merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ahmad.
Baca : Al-Mughny 2/193,  Al-Inshof 1/65, Al-Majmu’ 3/395, Syarah Ma’any Al-Astar 1/254-256,  Al-Muhalla 4/128, Al-Fatawa 22/449 dan Fathul Bary 2/291.
Dalil-dalil setiap pendapat  dan pembahasannya
Dalil-dalil Pendapat Pertama
Ada dua hadits yang dijadikan  dalil oleh orang menganut pendapat pertama ini :
Hadits pertama : Hadits Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa  sallam bersabda :
إِذَا سَجَدَ أَحُدُكُمْ  فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ  رُكْبَتَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian  (hendak) sujud maka janganlah ia turun bersimpuh sebagaimana turun  bersimpuhnya onta tapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum  kedua lututnya“. Dikeluarkan oleh Ahmad 2/381, Al-Bukhary  dalam At-Tarikh Al-Kabir 1/1/139, Abu Daud no 840, An-Nasa`i 2/207 dan  dalam Al-Kubra no. 678, Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/254,  Ad-Daruquthny 1/344-345, Al-Baihaqy 2/99-100, Al-Hazimy dalam Al-I’tibar  Fii An-Nasikh Wal Mansukh minal Atsar hal. 59-60, Ibnul Jauzy dalam  At-Tahqiq no.520-522, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/128-129 dan  Al-Baghawy dalam Syarah As-Sunnah 3/134-135 semuanya dari jalan Abdul  ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy dari Muhammad bin Hasan dari Abu Zinad  dari Al-A’raj dari Abu Hurairah.
Dan Hadits ini diriwayatkan  pula oleh Abu Daud no 841, At-Tirmidzy no 628, An-Nasa`i 2/207 dan  dalam Al-Kubra no 677 dan Al-Baihaqy 2/100 semuanya dari jalan Abdullah  bin Nafi’ dari Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan dari Abuz Zinad dari  Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi  wa sallam dengan lafazh :
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ  فَيَبْرُكُ فِيْ صَلاَتِهِ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ
“Apakah salah seorang dari kalian  sengaja turun bersimpuh dalam sholatnya sebagaimana onta turun bersimpuh  kebumi ?!”
Pembahasan
Dari keterangan Ibnul  Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam Zadul Ma’ad 1/225-231 dan dalam  Tahdzib As-Sunan 3/399-400 terkumpul sepuluh sisi kelemahan hadits  Abu Hurairah ini dari segi matan maupun sanad. Tentu saja seluruh  keterangan dari Ibnul Qoyyim tersebut tidak bisa diterima secara mutlak  karena banyak dari keterangan beliau tidak dibangun diatas dasar yang  kuat. Tapi secara global, pelemahan beliau terhadap hadits Abu Hurairah  ini sangat kuat dan sangat beralasan serta sejalan dengan kaidah para  ‘ulama Ahli Hadits.
Penjelasannya sebagai berikut :
Ibnul Qoyyim menyebutkan  bahwa hadits ini telah dicacatkan oleh tiga ulama besar pakar Ilalul  hadits (cacat-cacat hadits) yaitu Imam Al-Bukhary, Imam At-Tirmidzy dan  Imam Ad-Daruquthny.
Berkata Imam Al-Bukhary : “Muhammad  bin Abdillah bin Hasan laa yutaba’u ‘alaihi (tidak ada  mutaba’ah-nya/pendukung baginya)“. Dan beliau juga berkata : “Saya  tidak tahu apakah ia (Muhammad bin Abdillah) mendengar dari Abuz-Zinad  atau tidak“. Lihat At-Tarikh Al-Kabir 1/1/139.
Berkata Imam At-Tirmidzy : “Gharib  kami tidak mengetahuinya dari hadits Abuz Zinad kecuali dari jalan ini  (yaitu dari jalan Muhammad bin Abdillah-pent)“.
Berkata Ad-Daruquthny : “Abdul  ‘Aziz Ad-Darawardy bersendirian dengannya dari Muhammad bin Abdillah  bin Hasan Al-’Alawy dari Abuz Zinad“.
Dan berkata Imam Al-Baihaqy  dalam Sunannya 2/100 : “Bersendirian dengannya Muhammad bin  ‘Abdillah bin Hasan“.
Pelemahan hadits Abu  Hurairah dan perkataan Imam At-Timidzy sangatlah jelas karena dua  perkara .
Satu : Kalimat “Gharib” dalam  penggunaan Imam At-Tirmidzy adalah bermakna lemah.
Dua : Perkataan beliau : “kami  tidak mengetahuinya dari hadits Abu-Zinad kecuali dari jalan ini”  merupakan alasan pelemahan  beliau, karena para ulama Ahli Hadits sering melemahkan  riwayat seorang rawi bila :
Ia bersendirian dalam suatu  hadits atau potongan hadits dari seorang rawi yang mempunyai murid yang  sangat banyak.
Hadits yang ia riwayatkan  merupakan tumpuan/patokan dalam suatu masalah.
Dan ternyata Abuz Zinad  Abdullah bin Dzakwan adalah rawi yang mempunyai banyak murid. Dan tidak  seorangpun dari murid beliau yang meriwayatkan hadits ini, seperti Imam  Malik, Al-Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnu ‘Uyainah, Al-A’masy,  Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Ubaidillah bin ‘Umar Al-’Umary dan  lain-lainnya. Maka tentunya sangatlah aneh kalau Muhammad bin ‘Abdillah  bin Hasan bersendirian meriwayatkan hadits ini dari Abuz Zinad sedangkan  murid-murid seniornya yang jauh lebih kuat dari Muhammad bin ‘Abdillah  tidak meriwayatkannya. Ini makna pelemahan Imam At-Tirmidzy disini dan  serupa dengan perkataan Ad-Daruquthny dan Al-Baihaqy di atas.
Kalau ada yang bertanya : “Bukankah  Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan adalah rawi tsiqoh (terpercaya), maka  tidak apa-apa kalau ia bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini“.
Maka jawabannya adalah  tidak semua tafarrud (bersendiriannya) seorang rawi di terima bahkan  kadang-kadang ia tertolak dan tidak diterima dalam beberapa keadaan yang  dikenal di kalangan para ulama ahli ‘ilalul hadits. Dan tafarrud  Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan di sini termasuk dari tafarrud yang  tidak bisa diterima sebagaimana dalam uraian diatas.
Dan untuk kejelasan bahwa  tidak semua tafarrud diterima, perhatikan kaidah yang disebutkan oleh  Ibnu Abi Hatim dalam Al-’Ilal jilid 1 hal. 463-464 no. 1392 berikut ini :
“Dikatakan kepada ayahku  (Imam Abu Hatim pakar ‘ilalul hadits di zamannya-pent.) :
“Apakah hadits Abu Hurairah  dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang sumpah  bersama saksi, shohih ?”, maka beliaupun diam sejenak kemudian berkata :
“Apakah kamu tidak melihat  kepada perkataan Ad-Darawardy ?, -yaitu perkataan dia :
“Saya menyebutkan hadits  ini kepada Suhail dan dia tidak mengenalnya”.- Maka saya berkata :
“Lupanya Suhail tidaklah  menolaknya (hadits ini -pent.) karena Robi’ah menghikayatkannya darinya  (Suhail) dan Robi’ah tsiqoh (terpercaya) dan seseorang kadang  menceritakan hadits kemudian dia lupa”. Maka (Abu Hatim) berkata :  “Betul, memang demikian, akan tetapi kami tidak melihat ada mutabi’  (penguat) terhadap riwayatnya dan telah meriwayatkan dari Suhail jama’ah  yang sangat banyak (tapi) hadits ini tidak ada pada seorangpun diantara  dari mereka”. Saya berkata : “(Bukankah) dia berpendapat akan  diterimanya khabar (hadits) dari satu orang”. Beliau berkata : “Benar,  akan tetapi saya tidak mengetahui ada patokon yang bisa saya anggap bagi  hadits ini dari Abu Hurairah, dan ini adalah patokan dari  patokan-patokon yang tidak ada mutaba’ah bagi Robi’ah di atasnya”.
Adapun perkataan Imam  Al-Bukhary : “Laa yutaba’u ‘alaihi”, ini adalah isyarat akan  lemahnya riwayat Muhammad bin ‘Abdillah. Dan juga perkataan beliau “Saya  tidak tahu apakah ia (Muhammad bin Abdillah) mendengar dari Abuz-Zinad  atau tidak” adalah suatu pensifatan yang menunjukkan sebab pelemahan  tersebut walaupun bukan bentuk pelemahan secara mutlak tapi Syeikh  ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah dalam Muqaddimah  Al-Fawa`id Al-Majmu’ah dalam kaidah yang keempat menyebutkan bahwa  kadang seorang Imam menganggap mungkar suatu hadits yang zhohir sanadnya  shohih walaupun kadang tidak ditemukan didalamnya ‘Illat yang tercela  maka mereka mencacatkannya dengan ‘Illat yang tidak tercela.  Wallahu A’lam.
Sebagai kesimpulan bahwa  hadits ini lemah karena dilemahkan oleh Imam Al-Bukhary, Imam  At-Tirmidzy, Ad-Daruquthny dan Ibnul Qoyyim dan pelemahan ini juga  dikuatkan oleh Syeikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady  Al-Wadi’iy rahimahullah.
Dan jangan terkecoh dengan  anggapan bahwa hadits ini shohih dari sebagian ‘ulama belakangan karena  mereka hanya melihat zhohir sanad yang shohih. Wallahu A’lam.
Hadits kedua : Hadits Ibnu Umar
أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ  يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَقَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ  عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
“Sesungguhnya beliau (Ibnu Umar)  meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya dan (Ibnu Umar)  berkata : “Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengerjakan  hal tersebut“.
Hadits ini diriwayatkan  oleh Al-Bukhary secara Mu’allaq 2/290 –Al-Fath- dan disambung oleh Abu  Daud sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 6/156-157, Ibnu Khuzaimah no.  627, Ath-Thohawy 1/254 Ad-Daraquthny 1/344, Al-Hakim 1/348, Al-Baihaqy  2/100 dan Al-Hazimy dalam Al-I’tibar hal. 59. Semuanya dari jalan Abdul  ‘Azis bin Muhammad Ad-Darawardy dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar dari Nafi’  dari Ibnu ‘Umar.
Pembahasan
Zhahir hadits ini nampak baik, karena itu sebagian  ‘ulama menshohihkannya. Tapi  yang benar hadits ini adalah hadits yang mungkar, berikut  penjelasannya :
Berkata Abu Daud  sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 6/57 : “‘Abdul ‘Azis meriwayatkan  dari ‘Ubaidullah hadits-hadits yang mungkar”.
Berkata Al-Baihaqy 2/100 : “Saya  tidak melihatnya (hadits ini-Pent.) kecuali hanya sebagai suatu  kekeliruan”.
Dan lihat keterangan  mungkarnya riwayat Abdul ‘Azis Ad-Darawardy dari ‘Ubaidullah dalam  Syarah Ilal At-Tirmidzy 2/810-811 dalam Ghorotul Fishol karya syaikh  Muqbil rahimahullah.
Dalil-dalil pendapat kedua
Hadits Pertama : Hadits Wa`il bin Hujr.
Hadits Wa`il ini mempunyai dua jalan dan semuanya lemah :
Jalan Pertama :
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ  اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبِتَيْهِ  قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Saya melihat Nabi shollallahu  ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau sujud, beliau meletakkan  kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila beliau bangkit beliau  mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya“.
Dikeluarkan oleh Abu Daud  no.388, An-Nasa`i 2/207,234 dan dalam Al-Kubra no.676,740, Ibnu Majah  no.838, Ad-Darimy 1/303, Ibnu Khuzaimah no. 626,629, Ibnu hibban  sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1912, Ath-Thohawy 1/255, Ad-Daraquthny  1/345, Al-Baihaqy 2/98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 518, Al-Baghawy  3/133, Al-Hazimy hal. 60-61, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan  Al-Jama’ Wat Tafriq 2/501 dan Adz-Dzahaby dalam Mu’jamul Muhadditsin  hal.218-219 semuanya dari jalan Syarik bin Abdillah An-Nakha’iy dari  Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Pembahasan
Sanad hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan  Imam Al-Baihaqy dalam sunannya 2/100 dan Imam Ad-Daraquthny berkata :” dan  tidak ada yang menceritakan (hadits ini) dari Ashim bin Kulaib selain  dari Syarik dan Syarik tidak kuat pada apa-apa yang ia bersendirian  darinya“.
Dan orang yang  memperhatikan biografi Syarik bin Abdillah An-Nakha’iy dari buku-buku  Al-Jarh wat Ta’dil (buku-buku yang memuat pujian dan kritikan terhadap  para rawi), akan memastikan bahwa Syarik ini adalah dho’iful hadits  (lemah haditsnya).
Kemudian Syarik ini telah  diselisihi oleh Hammam bin Yahya sebagaimana dalam Sunan Abu Daud no.839  dan dalam Al-Marasil hal. 93, Syarah Ma’any Al-Atsar 1/255, Sunan  Al-Baihaqy 2/99, Mu’jam Al-Ausath no. 5911 karya Ath-Thobarany dan  Al-I’tibar hal. 61 dari jalan Hammam bin Yahya dari Syaqiq Abu laits  dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala  alihi wa sallam secara mursal.
Syaqiq Abu Laits guru  Hammam pada sanad diatas kata Imam Ath-Thohawy : Laa Yu’raf (tidak  dikenal).
Dan jalan Hammam ini yang  mahfuzh (terjaga/benar) sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hazimy dalam  Al-I’tibar hal.61.
Dan diriwayatkan pula Abu  Daud no.839 dan Al-Baihaqy 2/98-99 dari jalan Hammam bin Yahya dari  Muhammad bin Jahadah dari Abdul Jabbar bin Wa’il dari ayahnya yaitu  Wa`il bin Hujr dari nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam,  dan Abdul Jabbar tidak mendengar dari ayahnya.
Jalan Kedua :
Diriwayatkan oleh Imam  Al-Baihaqy 1/99 dari jalan Muhammad bin Hujr dari Sa’id bin Abdul Jabbar  bin Wa`il dari ibunya dari Wa`il bin Hujr, beliau berkata :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ  اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ  أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَى الْأَرْضِ رُكْبَتَاهُ
“Saya sholat bersama dibelakang  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian beliau  sujud dan yang pertama sampai kebumi adalah kedua lututnya“.
Dalam hadits ini terdapat dua kelemahan :
Satu : Muhammad bin Hujr, kata  Imam Adz-Dzahaby : lahu manakir (ia mempunyai hadits-hadits mungkar)
Dua : Sa’id bin Abdul Jabbar,  disimpulkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : Dho’if (lemah).
Hadits Kedua : Hadits Anas bin Malik  radhiyallahu ‘anhu :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ ثُمَّ انْحَطَّ  بِالتَّكْبِيْرِ سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ
“Saya melihat Rasulullah shollallahu  ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam turun dengan takbir, maka kedua lutunya  mendahului kedua tangannya“. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny  1/345, Al-Hakim 1/349, Al-Baihaqy 2/99, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah  no. 2310, Ibnu Hazm Dalam Al-Muhalla 4/129 dan Al-Hazimy hal.60,  semuanya dari jalan Al-’Ala’ bin Isma’il Al-’Aththor dari Hafsh bin  Ghiyats dari ‘Ashim Al-Ahwal dari Anas.
Pembahasan
Berkata Abu Hatim ketika  ditanya oleh anaknya tentang hadits dengan jalan yang tersebut diatas : “Ini adalah hadits yang mungkar“.  Lihat Al-’Ilal 1/188.
Berkata Ad-Daruquthny 1/345  : “Al-Ala` bin Isma’il bersendirian dengannya dari Hafsh dengan  sanad ini”.
Dan berkata Al-Hafidz Ibnu  Hajar dalam Lisanul I’tidal 4/183 menjelaskan letak mungkarnya riwayat  Al-Ala` : “Dan ia (Al-Ala`) telah diselisihi oleh Umar bin Hafsh bin  Ghiyats dan ia adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ayahnya,  yaitu dia (Umar bin Hafsh) meriwayatkan dari ayahnya dari Al-A’masy dari  Ibrahim dari Alqomah dan lainnya dari ‘Umar secara Mauquf dan ini yang  Mahfuzh (terjaga)”.
Riwayat ‘Umar bin Hafsh  yang tersebut diatas bisa dilihat dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/256.
Berkata Ibnul Qayyim dalam  Zadul Ma’ad 1/229 : “Dan Al-Ala` ini majhul (tidak dikenal), sama  sekali tidak ada penyebutannya dalam Kutubus Sittah”.
Catatan
Orang yang berpendapat  lutut dahulu yang turun kemudian tangan mempunyai beberapa hadits yang  lain, tapi semuanya lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Silahkan lihat  dalam ‘Irwa`ul Gholil no.75 dan Risalah Nahyu Ash-Shuhbah ‘Anin Nuzul  Bir-Rukbah.
Dalil-dalil pendapat ketiga
Para ‘ulama yang menguatkan  pendapat ketiga ini, ada dua jalan dalam menguatkannya :
-Ada yang menguatkan  pendapat ini dengan alasan bahwa dalil dari pendapat pertama dan kedua  semuanya shohih bisa dipakai berhujjah. Dengan demikian maka  kandungan dari dalil-dalil tersebut bisa diamalkan sehingga boleh  meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian  tangan.
-Ada yang menguatkan  pendapat ketiga ini dengan alasan bahwa seluruh hadits yang berkaitan  dengan cara turun untuk sujud, baik tangan dahulu kemudian lutut atau  lutut dahulu kemudian tangan, adalah hadits-hadits yang lemah tidak bisa  dipakai berhujjah. Karena tidak ada aturan dalam hadits yang shohih  yang menjelaskan tentang cara turun untuk sujud tersebut maka ada  keluasan, boleh meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut  dahulu kemudian tangan.
Kesimpulan Pembahasan
Dari uraian diatas, nampak  dengan jelas bahwa dalil-dalil dari pendapat pertama dan pendapat kedua  semuanya lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Dari pendapat ketiga,  alasan yang bisa diterima hanyalah alasan kedua. Dengan demikian pembahasan ini bisa  disimpulkan bahwa dalam cara turun untuk sujud ada keluasan, boleh  meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian  tangan. Kesimpulan ini merupakan  kesimpulan dari ahli hadits dan mujaddid negeri Yaman Syaikhuna Muqbil  bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullahu wa balla bil maghfirati tsarahu dan  kesimpulan dari beberapa ‘ulama lain. Wallahu Ta’ala A’lam Wa fauqo  kulli dzi ‘ilmin ‘alim.
Dikutip  dari darussalaf.or.id dinukil dari http://www.an-nashihah.com, Penulis:  Al Ustadz Dzulqarnain Al-Atsary, Judul : Lutut / Tangankah Yang Lebih  Dulu Menyentuh Bumi Ketika Sujud
0 komentar:
Posting Komentar
koment :