 Buang hajat merupakan rutinitas alamiah yang  dilakukan oleh semua manusia. Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana  agama memberikan bimbingan dalam masalah ini
Buang hajat merupakan rutinitas alamiah yang  dilakukan oleh semua manusia. Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana  agama memberikan bimbingan dalam masalah ini sehingga perbuatan yang bisa jadi dipandang ringan oleh banyak orang ini bisa memiliki nilai ibadah di sisi Allah.
Membuang hajat adalah perkara yang terlalu sering kita lakukan setiap  harinya, namun sangat disayangkan banyak di antara kita yang tidak  mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya. Padahal syariat agama  kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini. Pernah kaum  musyrikin berkata kepada Salman Al Farisi radliallahu anhu: “Nabi kalian  telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab  buang hajat”. Salman menjawab: “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang  hajat”. (HR. Muslim no. 262) 
 
Doa Sebelum Buang Hajat
Doa Sebelum Buang Hajat
Perkara awal yang perlu diperhatikan dari sunnah Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam masalah ini adalah ketika seseorang  akan masuk ke tempat buang hajat (WC dan semisalnya) hendaknya ia  mengucapkan doa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan”. (HR. Al Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan”. (HR. Al Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
Karena WC dan semisalnya merupakan tempat kotor yang dihuni oleh  syetan maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah  Subhanahu Wa Ta’ala agar ia tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk  tersebut. (Asy Syarhul Mumti‘, 1/83)
Membaca doa ini merupakan adab yang disepakati istihbab-nya  (disunnahkan) dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang hajat  di tempat yang berupa bangunan ataupun di padang pasir. (Syarah Shahih  Muslim, 4/71)
Sementara apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), maka doa ini  dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat seperti ketika seseorang  menyingkap pakaiannya. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan  mereka mengatakan kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia  membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)
Langkah Kaki Ketika Masuk dan Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. Al Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268).
Langkah Kaki Ketika Masuk dan Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. Al Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268).
Hadits di atas menunjukkan keumuman, namun khusus pada  keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila  beliau masuk WC, keluar dari masjid dan yang semisalnya.  Demikian dinyatakan Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Al Imam AnNawawi berkata: “Merupakan kaidah yang berkesinambungan  dalam syariat di mana tangan/kaki kanan didahulukan dalam melakukan  perkara yang mulia seperti memakai pakaian, celana, sandal, masuk  masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir  rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai  shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat  tangan, menyentuh hajar aswad dan selainnya dari perkara yang semisal di  atas. Semua itu disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun  lawan dari perkara di atas seperti masuk WC, keluar dari masjid,  istinja, melepas pakaian, celana, sandal dan yang semisalnya disenangi  untuk memulai dengan tangan/kaki kiri.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160, Al  Majmu’, 2/95)
Menutup Diri
Abdullah bin Ja‘far berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memboncengkan aku di belakang beliau. Lalu beliau membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan memberitahukannya kepada seorangpun selama-lamanya. Adalah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunan atau selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri) ketika buang hajat”. (HR. Muslim no. 342)
Menutup Diri
Abdullah bin Ja‘far berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memboncengkan aku di belakang beliau. Lalu beliau membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan memberitahukannya kepada seorangpun selama-lamanya. Adalah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunan atau selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri) ketika buang hajat”. (HR. Muslim no. 342)
Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan  disenanginya menutup diri ketika seseorang sedang buang hajat dengan apa  saja yang dapat mencegah/menghalangi pandangan orang terhadapnya ketika  itu. Dan dimungkinkan buang hajat beliau di kebun kurma bukan pada saat  kurma itu berbuah”. (Nailul Authar, 1/117)
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila hendak buang hajat,  tidaklah mengangkat pakaiannya sampai beliau turun untuk jongkok di atas  tanah. Hal ini beliau lakukan dalam rangka menjaga aurat. (Zaadul  Ma`ad, 1/44, Ad Dararil Mudhiyyah hal. 23)
Menjauh dari Pandangan Manusia 
Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah: “Kabar yang pasti dari Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya bila ingin buang hajat beliau  pergi ke tempat yang jauh dari penglihatan manusia, namun bila sekedar  buang air kecil beliau tidak menjauh dari mereka”. (Al Ausath, 1/321)
Hal ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi  untuk membuang hajat hingga tersembunyi dari para shahabatnya. (HR. Al  Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 dari Al Mughirah ibnu Syu`bah  Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu).
Abdurrahman bin Abi Qurad radliallahu anhu berkata: “Aku pernah keluar  bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke tempat buang hajat.  Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia”.  (HR. An Nasa’i no. 16 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al  Jami`ush Shahih, 1/495).
Saking menjauhnya beliau dari manusia sampai-sampai beliau pergi ke  Mughammas (sebuah tempat yang jauhnya sekitar dua mil dari kota Makkah)  untuk keperluan buang hajat ini. (HR. Abu Ya‘la, 9/476 dan dishahihkan  oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami‘ush Shahih, 1/495)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Beliau Shallallahu ‘Alaihi  Wasallam apabila ingin buang hajat dalam safarnya pergi hingga  tersembunyi dari pandangan para shahabatnya, dan terkadang beliau  menjauh sampai 2 mil. Beliau menutup dirinya ketika buang hajat,  terkadang dengan berlindung di balik tempat tinggi, terkadang di balik  kebun kurma dan terkadang dengan pepohonan yang tumbuh di lembah”.  (Zaadul Ma`ad, 1/43)
Berbeda halnya ketika buang air kecil, sebagaimana dikatakan Ibnul  Mundzir di atas, beliau tidak menjauh dari manusia. Bahkan Hudzaifah  radliallahu anhu mengatakan: “Aku pernah berjalan-jalan bersama Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu mendatangi tempat pembuangan  sampah yang terletak di belakang tembok. Beliau berdiri di situ  sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang air  kecil. Aku pun menyingkir dari beliau namun beliau memberi isyarat  kepadaku maka aku pun mendatanginya. Aku berdiri di belakang beliau  hingga beliau selesai dari hajatnya”. (HR. Al Bukhari no. 225 dan Muslim  no. 273)
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan beliau  tidak menjauh dari Hudzaifah ketika buang air kecil.” Adapun sebab tidak  menjauhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika buang air kecil  dijelaskan oleh Al Hafidz: “Kencing lebih ringan daripada buang air  besar karena buang air besar butuh untuk lebih membuka aurat dan bau  yang ditimbulkan lebih menusuk. Sementara tujuan menjauh dari manusia  adalah untuk menutup diri dari penglihatan mereka dan ini terpenuhi  dengan membentangkan pakaian dan mendekat dengan sesuatu yang dapat  menutupi”. (Fathul Bari, 1/411)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta Hudzaifah untuk  mendekat kepada beliau agar Hudzaifah menutupi beliau dari pandangan  manusia karena buang air kecil merupakan keadaan yang memalukan bila  terlihat oleh orang lain. (Syarah Shahih Muslim, 3/167)
Dengan demikian, dituntunkan kepada kita untuk menjauh dari manusia  ketika buang air besar, sementara ketika buang air kecil boleh dilakukan  di dekat orang lain, namun harus tetap memperhatikan tertutupnya aurat  agar tidak terlihat orang lain. (Al Jami‘ush Shahih, 1/496)
Tidak Memasukkan ke WC Sesuatu yang Padanya ada Dzikrullah
Seseorang yang buang hajat lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera dzikir kepada Allah seperti Al Qur’an dan lainnya yang ada padanya penyebutan nama Allah. Dalam permasalahan ini dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan cincin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika akan masuk WC. Namun hadits ini lemah, ma`lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan dan ulama ahli hadits yang lainnya.
Tidak Memasukkan ke WC Sesuatu yang Padanya ada Dzikrullah
Seseorang yang buang hajat lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera dzikir kepada Allah seperti Al Qur’an dan lainnya yang ada padanya penyebutan nama Allah. Dalam permasalahan ini dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan cincin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika akan masuk WC. Namun hadits ini lemah, ma`lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan dan ulama ahli hadits yang lainnya.
Ketika membawakan hadits ini Imam Shan‘ani mengatakan dalam Subulus  Salam (1/113): “Sesuatu yang di dalamnya tertera nama Allah Subhanahu Wa  Ta’ala harus dijaga dari tempat-tempat yang jelek/kotor. Dan ini tidak  khusus berupa cincin saja namun mencakup semua benda yang dipakai yang  padanya ada dzikrullah”.
Walaupun demikian sebagian ulama yang lain menganggap makruh  (dibencinya) perkara ini, bahkan haram apabila yang dimasukkan itu  berupa Al Qur’an, karena termasuk penghinaan. Penulis kitab Al Furu’  mengatakan: “Dibenci untuk membawa sesuatu yang padanya ada dzikrullah  tanpa ada keperluan.” (Al Furu`, 1/83)
Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat 
Abu Ayyub Al Anshari radliallahu anhu berkata: Rasulullah Shallallahu  ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Apabila kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar ataupun kencing dan jangan pula membelakangi kiblat, akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat1”. (HR. Al Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
“Apabila kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar ataupun kencing dan jangan pula membelakangi kiblat, akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat1”. (HR. Al Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
Dari hadits di atas dipahami adanya larangan menghadap dan  membelakangi kiblat ketika buang hajat. Namun dalam permasalahan ini ada  perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat perbuatan  ini haram secara mutlak baik di WC (tempat yang tertutup/berbentuk  bangunan) ataupun di tempat terbuka. Ada yang membolehkan secara mutlak  dan ada pula yang merinci. Perselisihan ini terjadi karena selain hadits  larangan sebagaimana tercantum di atas didapatkan pula hadits lain yang  menunjukkan kebolehannya seperti hadits Abdullah Ibnu Umar radliallahu  anhu, ia berkata: “Aku pernah menaiki rumah Hafshah2 karena suatu  keperluan, maka ketika itu aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  Wasallam buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka`bah”.  (HR. Al Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266).
Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah Al Anshari radliallahu anhu:  “Sungguh beliau melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat  dengan kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku  melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya”.  (HR. Ahmad 3/365 dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami`ush  Shahih, 1/493)
Dari perselisihan yang ada, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang  merinci, bila di luar bangunan seperti di padang pasir haram untuk  menghadap atau membelakangi kiblat, sementara di dalam bangunan tidaklah  diharamkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy Syafi‘i, Ahmad, Ishaq,  Asy Sya‘bi dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih  Muslim 3/154, Syarah Sunan An Nasa’i lis Suyuthi 1/26)
Namun sepantasnya bagi seseorang untuk juga menghindar dari arah  kiblat ketika buang hajat di dalam bangunan (WC dan semisalnya), dalam  rangka berhati-hati dari hadits-hadits yang menunjukkan larangan akan  hal ini dan karena adanya perselisihan yang kuat dalam permasalahan ini  yang didukung oleh para ulama ahli tahqiq. (Taisirul ‘Allam, 1/55)
Boleh Kencing Berdiri 
Al Imam Al Bukhari Rahimahullah ketika membawakan hadits Hudzaifah yang menerangkan Rasulullah kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Duduk. Sehingga dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun di sana terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai hal ini.
Al Imam Al Bukhari Rahimahullah ketika membawakan hadits Hudzaifah yang menerangkan Rasulullah kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Duduk. Sehingga dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun di sana terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai hal ini.
Didapatkan pula dari perbuatan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib,  ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin Tsabit dan selainnya, mereka kencing  dengan berdiri. Ini menunjukkan perbuatan ini dibolehkan dan tidak  makruh apabila memang aman dari percikan air kencing. (‘Aunul Ma`bud,  1/29)
Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah: “Sebagian ahlul ilmi menyenangi  bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk menjauh dari manusia  dan mereka memandang tidak apa-apa kencing di dekat orang lain bila  dilakukan dengan berdiri. Karena kencing dalam keadaan berdiri lebih  menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan najis. Pendapat seperti  ini diriwayatkan dari ‘Umar.” (Al Ausath, 1/322)
1 ) Akan tetapi kita yang berada di Indonesia, seharusnya tidak  menghadap ke arah barat yang merupakan arah kiblat dan ke arah timur  yang merupakan arah Baitul Maqdis, menyelisihi penduduk Madinah yang  telah disebutkan di atas. (Pembahasan ini bisa dilihat dalam Asy Syarhul  Mumti‘, 1/99, Syarah Umdatil Ahkam Ibnu Daqiqil ‘Ied, 1/54, Sunan An  Nasa’i Hasyiyah As Sindi, 1/23 )
2 ) Salah seorang istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam, putri dari ‘Umar Ibnul Khaththab.
2 ) Salah seorang istri Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam, putri dari ‘Umar Ibnul Khaththab.
Sumber :  http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=89
0 komentar:
Posting Komentar
koment :