Batasan Akal menurut syariah.

Posted on
  • by
  • ابوالياس
  • in
  • Label:
  • Pemuliaan akal secara berlebihan (pengkultusan akal) adalah perbuatan yang menghinakan akal serta menyiksa akal karena telah membebani akal dengan sesuatu diluar batas kemampuan akal.   Karena akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk,


    maka sebagaimana makhluk yang lain, akal memiliki sifat lemah dan keterbatasan. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)

    Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah  dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.  

    Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

    “Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.”

     (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)

    “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

    Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab dalam syariat akan sanggup manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.

    Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin ‘memuliakan’ akal dan mengagungkannya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)

    Akal yang terpuji dan akal yang tercela

    Penggunaan akal yang terpuji adalah saat akal digunakan sesuai dengan syariat, dan dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat.

    Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

    1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.

    2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.

    3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.

    4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah (penyimpangan ibadah) dan matinya As Sunnah.

    5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)

     

    Ketika Dalil Syariat Bertentangan Dengan Akal

    Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.

    Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)

     

    Bila Akal Lebih Diutamakan

     

    Akal yang diutamakan berarti memuliakan akal secara berlebihan, memujanya dan menyombongkannya.  Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak perbuatan yang berbahaya:

    1.   Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam radiallahu anhu, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.

    “Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)

    2.  Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam. Mereka katakan: “Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)

    4.  Tidak dapat mengambil faidah dari kehadiran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam di muka bumi ini karena mereka tidak merujuk kepadanya dalam menempuh hidup di dunia dan mempersiapkan hari akhirat mereka.  Bahkan keadaan mereka lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat dari diutusnya Rasulullah, justru mereka menolaknya.

    5.  Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:  “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)

    6. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.

     7.  Mereka berani berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya walaupun tanpa ilmu/dalil.    

    “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8 )

    “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

    8. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.

    9. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang, walau kadang ia tidak menyadarinya.

    Referensi  :  Disadur / diringkas / disedrhanakan dari tulisan Al Ustadz Qomar Suaidi Lc, yang berjudul   “Kedudukan Akal Dalam Islam”

    0 komentar:

    Posting Komentar

    koment :

     
    Copyright (c) 2011 Moslemblog's byAbu ilyas.