Segala puji bagi Alloh… sholawat  dan salam atas Nabi pilihan Alloh… waba’du:
Berikut ini adalah, 50 pelajaran  berharga dari Rukun Islam Kelima untuk kehidupan manusia. Semoga Alloh  memberikan taufiQ, bantuan, dan menunjuki kebenaran pada kami dalam  menyelesaikan tulisan ini.
1. Pendidikan untuk  mentauhidkan Alloh, baik dalam ucapan maupun amalan, hal ini  terlihat jelas dalam beberapa amalan berikut ini:
a. Bacaan talbiyah, yang disebut  juga dengan kalimat tauhid: Labbaikallohumma labbaik…
b. Dimasukkannya dalam talbiyah  kata: la syarika lak (tiada sekutu bagi-Mu).
c. Kata la syarika lak  yang diulangi dua kali dalam bacaan talbiyah, ini menunjukkan adanya  penekanan dalam hal tauhid.
d. Kata-kata: “Innal hamda wan  ni’mata laka wal mulk”, maksudnya adalah: “Sesungguhnya semua  pujian, segala nikmat, dan seluruh kekuasaan hanya bagi-Mu ya Alloh”,  dan ini juga mengandung nilai tauhid.
e. Larangan thowaf di selain  Ka’bah, itu artinya kita dilarang untuk thowaf di arofah, di jamarot, di  pemakaman, tempat keramat, tempat bersejarah, dll. Ini semua bukti  keyakinan kita, bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali  Alloh, dan itulah diantara bentuk nyata mentauhidkan Alloh.
2. Pendidikan untuk banyak  memuji Alloh. Hal ini tampak pada kata hamdalah yang  ada dalam talbiyah. Meski saat datang ke tanah suci, jamaah  haji sedang dalam keadaan tertimpa musibah, didera cobaan, sakit,  miskin, dan terasingkan… mereka semua tetap memuji Alloh, seakan-akan  mereka dalam keadaan lapang, sehat, dan kuat… Sungguh tak diragukan  lagi, memuji Alloh dianjurkan bagi setiap muslim, baik di saat suka,  maupun duka.
3. Pendidikan untuk selalu  membasahi lisan dengan dzikir, ini tampak pada:
a. Disunnahkannya membaca talbiyah  hingga sampai di masjidil harom, atau sampai melihat ka’bah, atau  sampai memulai thowaf. Meski para ulama berbeda pendapat tentang kapan  harus mengakhiri talbiyah, tapi semua pendapat itu mengisyaratkan  anjuran untuk memperbanyak talbiyah.
b. Saat thowaf, kita  dianjurkan untuk memperbanyak doa, atau dzikir, atau pujian pada Alloh,  dan semuanya merupakan bentuk dzikir.
c. Dalam sai juga demikian.
d. Doa di Hari Arofah yang berupa  dzikir: “la ilaaha illallohu wahdahu….
e. Hari-hari di mina adalah hari  untuk makan, minum, dan berdzikir.
f. Disyariatkannya melempar jumroh  adalah untuk berdzikir mengingat-Nya.
g. Disunnahkan untuk membaca  takbir dalam setiap lemparan kerikilnya.
Dan masih banyak lagi tempat dan  kesempatan lain untuk memperbanyak dzikir dalam ibadah haji ini. Itu  semua mengajarkan pada seorang muslim agar lisannya selalu basah dengan  bacaan dzikir.
4. Mengajarkan kita untuk  mengingat mati, yaitu dari pengenaan kain kafan dalam  pelaksanaannya. Dengan ini, seorang mukmin akan teringat dan merasakan  bagaimana akhir hidupnya, sehingga hal itu akan mempengaruhi hati dan  amalannya.
5. Mengajarkan manusia  untuk zuhud pada dunia dan kenikmatannya. Baik dia seorang yang  kaya, presiden, atau menteri, ia tidak akan mengenakan kecuali baju  putih itu. Seandainya ia ingin mengenakan baju lain yang dimilikinya,  tetap saja tidak diperbolehkan baginya.
6- Mendidik manusia untuk qona’ah,  sekaligus memberi pelajaran bahwa kekayaan yang hakiki adalah pada  sifat qonaah itu. Oleh karena itu, para jama’ah haji dilatih  untuk cukup hanya dengan mengenakan pakaian yang menutupi auratnya,  cukup dengan tidur sekedar bisa menghilangkan lelah dan malas, dan cukup  dengan makan sekedar bisa menopang tubuhnya.
7. Mengajarkan pada  manusia, bahwa kekayaan duniawi tidaklah memiliki kedudukan di  sisi Alloh bila dilihat dari dzatnya. Oleh karena itu para  jamaah haji sama-sama dalam pakaian dan amalannya. Adapun kekayaan,  kefakiran, kedudukan, dan tempat tinggal mereka, sungguh hal itu tidak  punya pengaruh apa-apa. Yang mempengaruhi mereka hanyalah keikhlasan dan  mengikuti sunnah dalam beramal. Sungguh demi Alloh, betapa banyak para masakin  di tempat itu yang lebih mulia, dari mereka yang kaya dan memiliki  kedudukan yang tinggi!!.
8. Mengajarkan pada  manusia dasar Persatuan Islam, hal ini tampak dari seragamnya  perbuatan, amalan, tempat, dan waktu mereka.
9. Mengajarkan pada  manusia untuk sabar dalam menghadapi kemaksiatan, hal itu  tampak pada hal-hal berikut ini:
a. Sabar untuk tidak melakukan  hal-hal yang dilarang ketika dalam keadaan ihrom.
b. Sabar untuk tidak melakukan  kefasikan, sebagaimana firman-Nya: “Barangsiapa berkewajiban menunaikan  ibadah haji dalam bulan-bulan haji, maka janganlah ia berbuat fasik dan  keji”. Sehingga ketika ia pulang ke negerinya, ia telah terdidik dan  terbiasa sabar dari segala kemaksiatan, sebagaimana ia sabar  menghadapinya pada hari-hari itu.
10. Mengajarkan pada  muslim untuk sabar dalam ketaatan. Dan barangsiapa mau  merenungi masalah-masalah tentang haji, tentu ia akan menemukan makna  ini. Hal itu terlihat diantaranya:
Ketika jama’ah haji ingin  bersegera kembali ke negerinya, ia tidak diperkenankan sebelum tanggal  12 dzulhijjah.
Pulangnya juga harus setelah  melempar dan thowaf wada’, meski ia berasal dari negeri yang jauh, tetap  saja ia harus menjalani semua amalan ketaatan ini, baru setelah itu  diperkenankan untuk pulang.
11. Mengajarkan pada  manusia, agar menyiapkan diri sebelum melakukan ketaatan, oleh  karena itu disunnahkan bagi yang ingin memulai ihrom, agar mandi,  membersihkan diri, memotong kuku, membersihkan rambut kemaluan dan  ketiaknya, dan memarfumi badannya, sebagaimana dituntunkan oleh Nabi  -shollallohu alaihi wasallam-. Begitu pula ketika sudah tahallul awal  dan akan melakukan thowaf ifadloh, disunnahkan baginya memakai parfum,  sebagaimana dicontohkan oleh beliau. Tak diragukan lagi, tentunya hal  ini akan berpengaruh terhadap jiwa ketika menjalani ibadahnya, sekaligus  menambah kekhusyu’annya.
12. Mengajarkan pada  manusia untuk ikhlas dan tulus hati, yang keduanya adalah  puncak amalan hati, dengan keduanya sebuah amal akan diterima dan  mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya.
13. Mengajarkan pada  manusia untuk tawakkal dan menyerahkan urusannya hanya pada Alloh  semata, terutama dalam menunaikan dan memudahkan ibadahnya.  Lihatlah bagaimana seorang muslim yang datang dengan meninggalkan  keluarga, anak, dan hartanya, tentunya ia akan menyerahkan urusan harta  dan sanak keluarganya pada Tuhannya, ia juga tentunya banyak meminta  permohonan pada-Nya dalam menjalani beratnya perjalanan, terutama mereka  yang datang dari negeri jauh.
14. mengajarkan manusia  untuk bertawakkal yang benar, tentunya tawakkal yang tidak  mengesampingkan usaha lahiriyah yang diperintahkan untuk mencari rizki,  oleh karenanya Alloh berfirman: “Tidak ada masalah jika kalian ingin  mengharapkan kemurahan (rizki) dari Tuhan kalian”. Ayat ini turun pada  mereka yang menyangka bahwa makna tawakkal adalah dengan meninggalkan  berdagang dalam haji.
15. Mengajarkan pada  manusia untuk mewujudkan semua amalan-amalan hati. Sungguh  tiada ibadah yang tampak padanya semua atau sebagian besar amalan hati  seperti dalam haji ini. Terkumpul dalam ibadah haji ini amalan ikhlas,  ketulusan hati, roja’, tawakkal, zuhud, waro’,  muhasabah, keyakinan… dll”
16. Mendidik manusia untuk  menundukkan hati dari apa yang diingininya, selama hal itu  dilarang oleh syariat. Parfum, tutup kepala, dan semua larangan ihrom  haruslah ditinggalkan oleh jama’ah haji padahal hatinya menginginkannya.  Ia meninggalkannya bukan karena apa-apa, tapi karena syariat  melarangnya.
17. mengajarkan manusia  untuk taat dengan aturan dan batasan syariat. Hal ini nampak  dalam aturan miqot dan batasannya, aturan waktu melempar,  aturan waktu meninggalkan arofah, dll.
18. Mengajarkan pada  manusia untuk membuka pintu qiyas yang shohih. Pelajaran  berharga ini, bisa kita ambil dari ucapan Umar r.a. pada penduduk  negeri Irak ketika mereka mengatakan: “Sungguh dua miqot itu, tidak pas  dengan jalan kami”, maka Umar r.a. mengatakan: “Ambillah tempat yang  sejajar dengannya di jalan kalian” (muttafaqun alaih).
Dengan ini, seorang muslim tahu  bahwa aturan syariat bukanlah aturan yang kaku, dan tak bisa dirubah  sama sekali. Tapi terbuka juga dalam aturan syariat ini pintu qiyas,  tentunya hal ini hanya dikhususkan bagi mereka yang memiliki syarat dan  ketentuan dalam ber-ijtihad.
19. Mengajarkan pada  manusia tentang rukun kedua diterimanya suatu amalan, yakni  mengikuti tuntunan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Oleh  karena itu, beliau menyabdakan: “Ambillah cara manasik kalian dariku!” (muttafaqun  alaih). Beliau juga mengatakan dalam kesempatan lain: “Melemparlah  dengan kerikil yang seperti ini!”. Begitu juga perkataan Umar r.a. pada  hajar aswad: “Aku tahu, kau ini hanyalah sebuah batu, yang takkan mampu  memberi manfaat atau mendatangkan bahaya, andai saja aku tidak melihat  Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menciummu, tentunya  aku takkan menciummu” (muttafaqun alaih).
Dengan itu semua, seorang muslim  akan lulus dari madrasah hajinya, dalam keadaan telah terbiasa mengikuti  tuntunan Nabinya -shollallohu alaihi wasallam-, baik dalam hal  yang besar, maupun yang paling kecil sekalipun.
20. Memberikan pelajaran  akan mudahnya ajaran syariat, sehingga keyakinan ini bisa  tertanam dalam hatinya dan terasa ringan ketika menerapkannya. Hal ini,  bisa terlihat dalam amalan-amalan berikut ini:
a. Letak miqot yang menyebar dan  terpisah-pisah, hingga memudahkan para jama’ah haji dalam memulai  ihromnya.
b. Cara manasik haji yang  bermacam-macam.
c. Adanya hukum khusus bagi para  jama’ah yang lemah dan lanjut usia.
21. Mendidik manusia, agar  memperhatikan adanya perbedaan diantara mereka. Sungguh  tidaklah mereka berada pada derajat yang sama. Hal ini tampak pada  adanya cara manasik haji yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang  tidak mampu menunaikan hajinya, kecuali dengan cara ifrod. Diantara  mereka ada yang hanya mampu melakukannya dengan qiron dan hal  itu menjadi lebih mudah dan lebih utama baginya. Dan diantara mereka ada  yang bisa menunaikan manasik dengan cara yang paling utama, yakni tamattu’.
Sungguh ini menunjukkan tingginya  perhatian syariat pada keadaan, kemampuan, masalah, dan perbedaan  mereka. Sekaligus merupakan bantahan bagi orang yang menuntut bersatunya  umat dalam segala hal, baik dalam amalan maupun dalam hal  kepentingannya.
22. Mengajari manusia  bagaimana fikhul khilaf dalam kehidupan nyata, hal itu  tampak pada hal-hal berikut ini:
a. Perbedaan para jama’ah dalam  dalam memilih cara manasiknya.
b. Perbedaan para jama’ah dalam  menjalani amalan yang dilakukan pada hari ke-10 bulan Dzulhijjah.
c. Perbedaan para jama’ah dalam  hal dzikir yang dibaca ketika meninggalkan Mina menuju Arofah.  Sebagaimana disebutkan, para sahabat dulu ada yang bertalbiyah, ada juga  yang bertakbir.
d. Perbedaan waktu bolehnya  beranjak dari Muzdalifah ke Mina, melihat keadaan masing-masing, bagi  yang lemah ada waktu tersendiri, dan bagi yang kuat ada waktu  tersendiri.
e. Perbedaan para jama’ah dalam  memilih nafar awal atau nafar tsani untuk ibadah  hajinya.
f. Perbedaan para jama’ah dalam  memilih menggundul atau memendekkan rambutnya ketika hendak bertahallul.
Semua contoh di atas, mengajari  para jama’ah bagaimana menyikapi perbedaan dan individunya. Sungguh,  tidak ada nukilan tentang timbulnya cekcok atau tuduhan antara satu  sahabat dengan sahabat lainnya, karena sebab memilih cara manasik  tertentu, meski pilihan mereka adalah cara manasik yang kurang utama.
23. Mengajari manusia,  bahwa tidak semua yang diterangkan oleh syari’at itu mungkin dicerna  oleh akal, tujuannya adalah agar syariat tetap menjadi pemegang  kendali hukum di atas akal, bukan di bawahnya.
Lihatlah sebagai contoh sabda Nabi  -shollallohu alaihi wasallam-: “Perbanyaklah haji dan umroh,  karena keduanya bisa menghilangkan kefakiran sebagaimana mampunya tengku  pembakar menghilangkan karatnya besi. (Diriwayatkan oleh para pengarang  kitab sunan, dan dishohihkan oleh Albani)…
Padahal jika di nalar dengan akal,  memperbanyak haji dan umroh itu, akan mengundang banyak kebutuhan dan  tentunya akan banyak menghabiskan uang, tapi syariat malah mengatakan  seperti itu. Sungguh akal tidak akan bisa menerangkan secara rasional,  bahwa orang yang memperbanyak haji dan umroh akan menghilangkan  kefakiran, Alloh lah yang tahu akan hakikat di balik itu semua.
Dengan ini, seorang muslim akan  terdidik untuk selalu menghubungkan dirinya dengan Alloh dan ilmu-Nya,  sekaligus melatihnya untuk berjiwa besar dan mau mengakui kelemahan dan  kekurangannya.
24. Mengajari manusia,  bahwa yang paling afdlol, adalah yang sesuai dg syariat, bukan  yang lebih berat dan susah, misalnya: Memulai ihrom dari miqot, lebih  utama dari pada memulainya dari tempat sebelumnya, meski itu lebih berat  dan susah. Sehingga dengan ini, seorang muslim terdidik untuk  memuliakan syariat dan memperhatikannya.
25. Melatih manusia, untuk  terbiasa tertib dan taat aturan. 
Budaya tersebut bukanlah  keistimewaan negeri kafir, sebaliknya itu merupakah nilai Islam yang  telah kita abaikan. Nilai ini tampak dari hal-hal berikut:
a. Harusnya tertib dalam menjalani  amalan-amalan Umroh.
b. Sunnahnya tertib dalam  menjalankan amalan-amalan pada hari ke-10 bulan dzulhijjah.
c. Harusnya tertib ketika melempar  jamarot.
Tapi yang sungguh mengherankan, di  zaman kita ini, justru ketertiban itu malah dijadikan cemoohan!… 
26. Mendidik manusia untuk  menekan syahwatnya secara khusus, oleh karena itu akad nikah menjadi larangan saat dalam keadaan ihrom, bahkan sampai rofats dan jima’ pun dilarang. Tidak diragukan, ini mendidik seorang muslim agar waspada dan hati-hati dengan syahwat ini.
27. Mendidik manusia untuk menunaikan ibadahnya sesempurna dan sebaik mungkin,
oleh  karena itu Alloh berfirman: “Barangsiapa yang berkewajiban haji, maka  janganlah ia melakukan rofats, kefasikan, dan debat (kusir)  dalam ibadah hajinya”, beliau -shollallohu alaihi wasallam-  juga bersabda: “Haji yang mabrur itu, tiada balasan lain baginya kecuali  surga” (Muttafaqun Alaih). Ini semua mendidik muslim untuk menjaga  kualitas ibadahnya.
28. Mendidik manusia untuk menyesuaikan dirinya saat keadaan dan kebiasaan lingkungannya berubah.
Tentunya sepanjang tahun jama’ah haji terbiasa melakukan sesuatu di  negaranya, lalu ketika datang haji, ia harus memaksa dirinya untuk  menyesuaikan dengan waktu dan jam yang sedang ia jalani. Inilah maksud  dari arahan Umar rodhiyallohu anhu. saat mengatakan: “Prihatinlah, karena  nikmat-nikmat yang ada itu tidak akan langgeng selamanya”.
29. Mendidik manusia untuk banyak berdoa.
Dalam manasik haji, disunnahkan bagi muslim untuk berdoa pada Tuhannya, di kebanyakan tempat yang dikunjunginya, misalnya:
a. Saat thowaf.
b. Saat sholat sunat 2 rokaat setelah thowaf.
c. Saat minum air zamzam.
d. Saat naik ke bukit Shofa dan Marwa.
e. Saat di tengah-tengah pelaksanaan sa’i.
f. Saat Hari Arofah
g. Setelah terbit fajarnya hari nahr (tanggal 10 dzulhijjah) hingga langit menguning.
h. Setelah melempar dua jamarot, Shughro dan Wustho.
Dan tempat-tempat lainnya, itu semua mendidik seorang muslim untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhannya dalam doa dan selalu kembali pada-Nya.
30. Mendidik muslim untuk ta’abbud dengan sifat maha mendengar dan maha melihatnya Alloh ta’ala,
sebagaimana madzhabnya Ahlus sunnah wal jama’ah dalam menetapkan sifat  dan maknanya, ini tampak dalam hal-hal berikut ini:
a. Banyaknya bahasa yang beraneka  ragam, suara yang berbeda-beda, kebutuhan yang bermacam-macam, pun  begitu, Dia yang maha suci tetap mampu mendengarkan doanya ini, dan  mengabulkan doanya itu, serta mengetahui seluruh bahasa mereka.
b. Dia maha tahu niat para jama’ah  haji yang berbeda-beda, dan seberapa tulus dan ikhlasnya mereka, meski  jumlah mereka sangat banyak.
31. Melatih manusia, untuk tidak menganggap remeh apapun yang diharamkan Alloh,
oleh karena itulah dalam ibadah haji ini, ada beberapa kalimat yang diulang-ulang, diantaranya:
a. Tanah haram.
b. Bulan haram.
c. Larangan-larangan ketika sedang ihrom.
Dengan begitu seorang muslim terlatih untuk mengagungkan apa yang diharamkan oleh Alloh ta’ala dari sekian banyak sesuatu yang diharamkannya.
32. Melatih manusia untuk meneguhkan prinsip “loyal pada kaum muslimin dan berlepas diri dari kaum kafirin”.
 Oleh karena itulah disunnahkan dalam sholat sunat  setelah thowaf untuk membaca surat alkafirun, yang didalamnya menekankan  dan menuangkan dasar prinsip ini.
Termasuk diantara bukti paling  nampak dari petunjuk menyelisihi kaum musyrikin adalah, beranjaknya para  jama’ah haji (dari Muzdalifah) sebelum terbitnya matahari.
33. Mendidik manusia untuk tenang, tertib, dan mempraktekkan prinsip itsar
  (mendahulukan orang lain dalam hal duniawi). Oleh karena itulah dahulu  Rosul -shollallohu alaihi wasallam- ketika meninggalkan Arofah  menyabdakan: “tenang dan tenanglah”, karena saat itu merupakan momen  yang biasanya rame dan memungkinkan terjadinya saling menyakiti antara  kaum muslimin.
Sifat waqor dan tenang  adalah sifat yang selayaknya melekat pada diri seorang muslim,  sebagaimana Alloh memberikan sifat itu pada mereka dalam kitab-Nya:  “yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan sopan”
34. Mendidik manusia untuk menyatukan kata, meski keadaan dan cara manasik mereka berbeda-beda.
 Ini merupakan dasar yang agung, dan ditunjukkan dalam banyak nash  syariat dan juga tampak dari keadaan para sahabat -rodliallohu anhum-.
35. Melatih manusia untuk mengingat hari kiamat
yakni dengan banyaknya orang yang  berkumpul saat itu, bahkan pada hari kiamat nanti, Alloh akan  mengumpulkan manusia dari awal hingga akhir penciptaan. Tak diragukan  lagi, dengan mengingat hari kiamat, hati seorang muslim akan hidup dan  memiliki pengaruh besar dalam kekhusyu’an dan ibadahnya.
36. Mendidik manusia untuk memperhatikan dan menghargai waktu.
 Hari arofah adalah  kesempatan yang tak ada gantinya bila telah hilang, hari-hari tasyriq  adalah hari-hari yang diperuntukkan untuk berdzikir (mengingat Alloh),  dan di 10 hari pertama bulan dzul hijjah amalan ibadah dilipat-gandakan  pahalanya, itu semua melatih seorang muslim untuk memanfaatkan waktunya  untuk apapun yang bermanfaat baginya.
37. Mendidik manusia untuk menjaga ukhuwwah imaniyyah,
 itu tampak dari  bertemunya raga, yang akan menjadikan berkumpulnya hati, dan tentunya  akan terlihat pengaruh pertalian persaudaraan itu dalam tingkah laku dan  kehidupan sehari-hari.
38. Mengajari manusia untuk mewujudkan lahan yang riil untuk mendidik jiwa
  misalnya:  
a. Haji adalah tempat untuk  mendidik jiwa untuk menjaga pandangan mata dari sesuatu yang diharamkan.
b. Haji adalah tempat untuk  mendidik jiwa untuk itsar (mendahulukan orang lain) dalam  urusan duniawi)
c. Haji adalah tempat mendidik  jiwa untuk memberi bantuan dan sedekah.
d. Haji adalah tempat mendidik  jiwa untuk menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Sungguh haji merupakan pusat  praktek nyata dan tempat pelatihan untuk menguji kepribadian seseorang.
39. Mendidik manusia untuk membuktikan taqwanya,
karena tempat ketakwaan adalah hati, dan  sebagian besar amalan haji itu bertumpu pada hati dengan derajat paling  tinggi, oleh karena itulah Alloh menyebutkan redaksi takwa dalam  ayat-ayat haji, Alloh berfirman: “Sempurnakanlah haji dan umroh itu  untuk Alloh…” di akhir ayat disebutkan: “dan bertakwalah kalian pada  Alloh!”… Dia juga berfirman: “Siapkanlah bekal (untuk haji), sungguh  sebaik-baik bekal adalah taqwa”.
40. Mendidik manusia agar berakhlak mulia
yang merupakan sesuatu yang paling berat dalam  timbangan amal di hari kiamat nanti, hal ini tampak dari firman-Nya:  “Janganlah berdebat (kusir) dalam haji!”. Maka anjuran untuk  meninggalkan debat merupakan pendidikan untuk berakhlak mulia. Hal itu  juga tampak pada anjuran Nabi -shollallohu alaihi wasallam-  kepada para sahabatnya untuk tetap tenang ketika meninggalkan Arofah.
41. Mendidik manusia untuk mencintai seluruh Nabi -alaihimus salam-,
 hal ini tampak dari: Pemenuhan panggilannya Nabi  Ibrohim ketika memanggil manusia untuk haji. Menziarahi ka’bah yang dibangun  olehnya bersama Ismail. Dan sa’i di jalannya siti hajar  ketika mencarikan air untuk Isma’il.
42. Mendidik manusia untuk menjalankan macam-macam ibadah,
 seperti: Thowaf, sa’i,  sholat, mabit, melempar, menyembelih, menggundul,  dll. Sehingga seorang muslim terdidik untuk tidak hanya terpaku dalam  satu macam ibadah saja, tapi menjadikan agar ibadahnya bervariasi dan  merasakan nikmatnya melakukan ibadah.
43. Mendidik manusia untuk mengagungkan Alloh,
 hal ini tampak dalam beberapa hal berikut:
a. Kepala yang di… dan digundul  untuk mendekatkan diri dan bersimpuh kepada Alloh.
b. Hadyu yang disembelih untuk  beribadah pada-Nya, dialirkan darahnya karena wajah-Nya, dan nama-Nya  juga disebut ketika menyembelihnya.
44. Mendidik manusia untuk mencintai Alloh.
 Siapapun yang mau merenungi pemandangan  jama’ah haji yang mencapai jutaan, dan merenungi bagaimana Alloh memberi  mereka rizki, mengatur, menjaga, dan menanggung kebutuhan mereka, ini  akan menuntunnya untuk mencintai-Nya. Dengan ini dan poin sebelum ini,  akan terkumpul kecintaan dan pengagungan pada Alloh, dan inilah hakekat  dari ibadah.
45. Mendidik manusia untuk mengetahui jasa
 Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dan  para sahabatnya -rodliallohu anhum- dalam menyebarkan agama ke  seluruh penjuru dunia. Ketika anda merenungi jumlah jama’ah haji yang  sangat besar itu, mereka memiliki daerah, warna, dan bahasa yang  beragam, tentu anda akan tahu jasa para pendahulu dalam menyebarkan  agama Alloh ini. Lihatlah bagaimana ia bisa sampai ke negara-negara Asia  Timur, Afrika, bahkan Eropa. Semoga Alloh membalas mereka dengan  balasan yang paling baik atas tugas berat yang diembannya dengan  sebaik-baiknya, dan semoga Alloh memgampuni kita atas kekurangan kita  dalam meneruskannya, dan kita memohon kepada Alloh agar membantu kita  dalam urusan ini.
46. Mendidik manusia untuk  berusaha membuat jengkel kaum musyrikin, dengan cara apapun, oleh  karena itulah beliau -shollallohu alaihi wasallam- menyariatkan  roml ketika thowaf hanya untuk membuat jengkel kaum musyrikin  saja, yakni saat mereka mengata-ngatai kaum muslimin ketika datang ke  Mekah: “Mereka itu mendatangi kalian, dalam keadaan telah dilemahkan  oleh Humma Yatsrib“.
47. Mendidik manusia agar merasakan pengaruh ibadah dalam kehidupan ini.
 Meski dengan  banyaknya jama’ah haji, adanya keramaian, berdesakan, berat, dan lelah,  tetap saja jiwa orang-orang itu lembut, dan jarang terjadi masalah,  suara tinggi, dan saling marah. Sebabnya adalah -wallohu a’lam-,  karena ibadah yang sedang mereka lakukan, mempengaruhi keadaan jiwa  mereka, hingga merubahnya menjadi jiwa yang tinggi, yang tidak peduli  dengan hal-hal yang remeh.
Beda halnya dengan pemandangan di  pasar misalnya, banyak sekali terjadi jeritan, dan suara yang tinggi,  banyak pula terjadi masalah dan hal-hal buruk lainnya. Itu semua  memberikan pelajaran berharga bagi seorang muslim, tentang adanya  perbedaan yang jelas terlihat antara dua keadaan itu.
48. Mendidik manusia untuk selalu sadar tanggung jawab.
 Ketika terjadi kesalahan dari  para jama’ah haji -kadang sebagian kesalahannya dalam hal-hal yang  diperkirakan semua orang tahu bahwa itu salah-, ini mendidik muslim  untuk sadar tanggung-jawab yang dibebankan di pundaknya untuk  memberitahu saudaranya, menyodorkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka,  dan menghilangkan kebodohan yang ada pada mereka. Penulis yakin inilah  yang bisa memberi manfaat, bukan malah mencemooh atau menuduh yang  bukan-bukan pada mereka yang salah.
49. Melatih manusia untuk  berjihad, dengan adanya masyaqqoh, lelah, dan keinginan hati   yang tak dituruti.  
Oleh karena itulah Nabi -shollallohu  alaihi wasallam- menamainya jihad, sebagaimana dalam sabdanya:  “Bagi kalian (para wanita) ada jihad yang tanpa perang, yaitu haji dan  umroh” (HR. Bukhori)
50. Mendidik manusia untuk bangga dengan agama dan keislamanya.
 Ini tampak dari keadaan  setan di Hari Arofah, telah disebutkan dalam kitab Al-Muwaththo’ karya  Imam Malik, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah  bersabda: “Tiada suatu haripun, yang saat itu setan terlihat paling  kerdil, paling hina, dan paling marah, melebihi Hari Arofah” (dihasankan  oleh Ibnu Abdil Barr -rohimahulloh-). Hal ini juga tampak dari  bagaimana Alloh membangga-banggakan hambanya yang sedang wukuf di  Arofah di hadapan para malaikat, sebagaimana disebutkan dalam shohih  muslim.
Akhirnya… inilah sebagian  pelajaran berharga dari haji untuk jiwa manusia, tentunya pelajaran yang  belum kami sebutkan di sini jauh lebih banyak dari itu… Aku memohon  pada Alloh semoga menjadikan tulisan ini bermanfaat… wallohu a’lam…  Akhir kata, semoga Alloh memberikan sholawat dan salam-Nya pada Nabi  kita Muhammad.

0 komentar:
Posting Komentar
koment :