Taat kepada pemerintah merupakan suatu kewajiban.

Posted on
  • by
  • ابوالياس
  • in
  • Label:
  • Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang -
    agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim,
    prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang dzalim.


    KKN, represivitas pMeski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar.
    penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (baca: kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang ‘sekedar’ demonstrasi, hingga yang berujud pemberontakan fisik.
    Yang menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadikan tameng untuk melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka bahkan ada yang menjadikan tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga mati dari tujuan dakwahnya. Mereka pun berangan-angan, seandainya kejayaan Islam di masa khalifah Abu Bakar dan ‘Umar bin Al-Khaththab dapat tegak kembali di masa kini.
    Jika diibaratkan, apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti “menunggu hujan yang turun, air di bejana ditumpahkan”. Yakni, mereka sangat berharap akan tegaknya khilafah ‘Umar bin Al-Khaththab namun kewajiban yang Allah perintahkan kepada mereka terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka, justru dilupakan. Padahal dengan itu, Allah akan mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum muslimin.
    WAJIBNYA TAAT KEPADA PENGUASA MUSLIM

    Allah Subhanahu Wata’ala telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapapun jelek dan dzalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang nyata. Allah Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kedzaliman mereka dan tetap berjalan di atas sunnah.
    Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada penguasanya maka matinya mati jahiliyyah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah.[1] (Lihat ucapan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim)
    Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, dia berkata: ”Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Kami masuk ke rumah Ubadah bin Ash-Shamit ketika beliau dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya: ‘Sampaikanlah hadits kepada kami –aslahakallah- dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang dengannya Allah akan memberikan manfaat bagi kami!’ Maka ia pun berkata: “Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak –beliau berkata- kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hal.192, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut, cet. 1)
    WAJIB TAAT WALAUPUN JAHAT DAN DZALIM

    Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, dzalim, atau melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah dengan memberikan hak mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
    Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): ‘Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’. Mereka (para shahabat -red) bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
    Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘Anhu. Dia berkata: “Kami mengatakan: Wahai Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu…(disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’ “ (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam As-Sunnah dan lain-lain. Lihat Al-Wardul Maqthuf, hal. 32)
    Berkata Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kedzaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hal. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir)
    Sedangkan menurut Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah: “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kedzaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kedzaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
    Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah: “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)
    TETAP TAAT WALAUPUN CACAT

    Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tetap memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya, namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa -apakah dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan- maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu menaatinya (pada perkara tersebut, red) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
    Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata: “Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat) (mujadda’) [2]” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 54)
    Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah Radhiyallahu ‘Anhu. Dia berkata: “Berkata kepadaku ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu: ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tau apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini…, jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah!”
    Wallahu a’lam.
    [1] Maksudnya seperti keadaan matinya orang-orang jahiliyah yaitu di atas kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang ditaati karena mereka dahulu tidak mengetahui hal itu. (Fathul Bari 7/13, dinukil dari Mu’amatul Hukkam hal 166)-red
    [2] Kalimat mujadda’ bermakna terpotong badannya atau cacat, seperti terpotong telinga, hidung atau tangan dan kakinya. Namun seringkali kalimat mujadda’ dipakai dengan maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsier dalam An Nihayah berkata, “Maknanya adalah terpotong-potong angota badannya, ditasydidkan huruf dalnya untuk menunjukkan banyak”.
    Sumber: Majalah Asysyari’ah
    Vol I/No 05/Februari 2004/Dzulhijjah 1424

    0 komentar:

    Posting Komentar

    koment :

     
    Copyright (c) 2011 Moslemblog's byAbu ilyas.