Hidup semakin sulit, fakta yang sulit untuk dibantah karena kenyataan memang berbicara demikian, beberapa kalangan merasakan hal itu.
Harga-harga terus merangkak naik, kebutuhan-kebutuhan hidup semakin mahal bahkan terkadang langka.
Harga-harga terus merangkak naik, kebutuhan-kebutuhan hidup semakin mahal bahkan terkadang langka.
Lapangan pekerjaan semakin sempit kerena diperebutkan oleh banyak orang, sudah sempit yang menginginkannya banyak lagi, mencari uang tidak mudah, giliran dapat, uang di tangan, dengan mudah ia melayang karena harus dipakai untuk menutupi ini dan itu.
Penulis tidak membeberkan fakta lapangan dalam hal ini karena pembaca bisa melihat atau mendengar sendiri secara langsung. Penulis juga tidak akan mengulas masalah ini dengan kaca mata ekonomi, karena penulis bukan seorang ekonom. Yang paling penting bagi penulis secara pribadi sebagai muslim adalah mengkaji masalah ini dari sudut pandang agama. Mengapa sampai terjadi seperti ini? Apa jawabannya ditilik dari sudut pandang agama? Sebagai seorang muslim, sudut pandang agama dalam menimbang sesuatu adalah lebih penting daripada yang lain, perkara yang lain hanyalah akibat atau imbas dari sudut ini.
Dari sisi pandang agama, penulis melihat kesulitan hidup yang menimpa bisa terjadi karena berbagai macam sebab, di antaranya:
Minim Takwa
Takwa berarti menjaga diri dari azab Allah dengan menaatiNya. Karena orang yang bertakwa adalah orang yang dekat kepada Allah, mempunyai kedudukan tinggi di hadapanNya, memiliki derajat terhormat di mataNya, maka tidak mengherankan jika Allah Ta'ala care (memperhatikan) kepadanya. Dia akan memudahkan hidupnya, melapangkan pintu rizkinya, melindunginya dari marabahaya, mengentaskannya dari kesulitan dan menghilangkan kesedihannya, sehingga kehidupannya menjadi kehidupan yang tenang, tenteram dan berhagia.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3). Dua janji mulia dari Allah kepada orang yang bertakwa, jalan keluar, solusi, problem solving dari apa? Dari apa yang kita ingin keluar darinya, dari kesulitan hidup, dari mahalnya harga-harga, dari kemiskinan dan dari… dari yang lainnya. Ibnu Abbas berkata, “Dari segala kesulitan dunia dan akhirat.” Ini satu. Kedua, rizki yang tidak terduga, rezki nomplok kata orang, tidak terbayang di benak, tidak terlintas dalam pikiran, tiba-tiba ia datang menghampiri.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96). Perhatikanlah, “Barakaat.” dengan kata jamak yang menunjukkan jumlah besar, di samping itu kata ini mengandung makna kebaikan, artinya apa yang Allah buka untuk mereka membawa kebaikan bagi mereka, di samping itu kata ini mengandung tetapnya kebaikan itu dan kelanggengannya, tidak mudah dicabut. Perhatikanlah, “Dari langit dan bumi.” Ini berarti ia mengalir dan mengucur dari segala arah. Rizki yang datang dari atas turun dan yang datang dari bawa pun muncul, kemakmuran merambah segala segi, kehidupan menjadi mudah dan keberkahan mengelilingi.
Minim Syukur
Syukur adalah mengakui nikmat dari Allah dengan hati dan lisan dan membuktikannya dengan perbuatan. Siapa yang tidak mengakui nikmat dari Allah dengan hatinya maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui dengan hatinya namun menolak mengungkap dengan kata-kata maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui nikmat dengan hatinya dan mengungkapkan dengan kata-katanya, namun dia tidak membuktikannya dengan perbuatan maka dia belum bersyukur.
Lawan syukur adalah kufur (nikmat), kufur nikmat ini mencabut dan melenyapkannya, bahkan terkadang tidak terbatas pada mencabut dan melenyapkan, ia bisa lebih dari itu yaitu mendatangkan dan menghadirkan, maksud penulis azab dan murka dari Allah Ta'ala. Sejarah membuktikan apa yang penulis katakan. Qarun dengan kemewahannya, akhirnya amblas ditelan bumi karena kekufurannya terhadap nikmat Allah. Tiga orang laki-laki Bani Israil, orang yang terkena penyakit lepra, orang botak dan orang buta, semuanya disembuhkan oleh Allah lalu diberi harta kesukaannya yang akhirnya berkembang melimpah, namun dua orang pertama tidak lulus ujian, alias tidak punya syukur, maka Allah mencabut apa yang telah Dia berikan dan mengembalikan mereka seperti sediakala.
Bangsa Saba` dengan negeri yang makmur, bumi yang subur, hidup berkalang nikmat, hal ini berbalik seratus delapan puluh derajat manakala mereka berpaling dari Pemberi nikmat “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Kepada mereka dikatakan, ‘Makanlah olehmu dari rizki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadaNya. Negerimu adalah negeri yang baik dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Pengampun.’ Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu) melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba`: 15-17).
Bukti-bukti sejarah dari al-Qur`an dan sunnah serta realita kehidupan berjumlah besar dalam hal ini, kalau kita menyinggungnya satu demi satu niscaya halaman ini menjadi panjang lebar, apa yang disebutkan sudah mewakili yang lain. Yang penting dan perlu diingat adalah bahwa minim syukur membuat hidup ini semakin kabur alias tidak jelas dan sulit. Sebaliknya sebaliknya. Mahabenar Allah Ta'ala yang telah berfirman, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu akan tetapi jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih." (Ibrahim: 7).
Realita kehidupan kita secara umum masih menunjukkan minim syukur kalau tidak kufur, banyak bukti yang menguatkan hal ini. Sebagian besar dari kita tidak pernah terlintas di benaknya pada saat dia mendapatkan rizki atau anugerah dari Allah bahwa hal itu semata-mata pemberianNya. Sebagian besar dari kita ketika mendapatkan rizki dan kemudahan hidup tidak menggunakannya dalam rangka meraih ridha Allah sebagai Pemberi, justru sebaliknya dia menggunakannya untuk hal-hal yang mengundang murkaNya, berfoya-foya, menghambur-hamburkan dan menyiakan-nyiakannya. Sikap seperti inilah yang membuat hidup semakin sulit. Seandainya orang-orang yang dilimpahi kenikmatan oleh Allah itu sedikit mau bersyukur dengan menggunakan hartanya demi kebaikan niscaya hidup ini akan lebih mudah dan lebih ringan.
Minim Tawakal
Tawakal menurut Imam al-Ghazali adalah menyandarkan hati hanya kepada al-Wakil (yang ditawakali), yaitu Allah. Penulis menambahkan, dengan mengikuti atau mengambil sebab-sebabnya. Jadi dalam tawakal terdapat dua sisi di mana tawakal belum sempurna tanpa keduanya. Penyandaran hati kepada Allah dan mengambil sebab-sebab. Menyandarkan hati saja tanpa mengambil sebab-sebab bukan tawakal akan tetapi kelemahan. Mengambil sebab-sebab semata dengan tidak menyandarkan hati kepada peletaknya bukan tawakal akan tetapi keangkuhan. Seorang muslim yang baik jangan menjadikan kelemahannya sebagai tawakal, dan tawakalnya sebagai kelemahan, jangan menjadikan keangkuhannya sebagai tawakal dan tawakalnya sebagai keangkuhan.
Dalam wacana kehidupan, yang banyak terjadi adalah lemahnya atau minimnya sisi penyandaran diri kepada Allah Ta'ala, di mana orang-orang hanya menengok kepada sebab-sebab dan menjadikannya sebagai pegangan, yang dibahas dalam forum-forum adalah sekedar teori, penulis tidak antipati dengan hal itu, namun menurut hemat penulis apalah arti dari semua itu jika orang-orangnya berhati kosong dari tawakal dan bersandar kepada Allah? Ini yang terlihat. Alangkah bagusnya jika tawakal ini benar-benar diwujudkan dalam arti yang sebenarnya, ia akan mengurai banyak benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya.
“Sungguh, seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kamu akan diberi rizki seperi burung itu diberi rizki, ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Yang jelas apa yang penulis paparkan merupakan janji dari Allah dan Allah tidak menyelisih janjiNya, kalau pun belum terwujud maka tengoklah diri sendiri, karena di sana pasti terjadi ketimpangan dalam takwa atau sukur atau tawakal sehingga janjiNya belum terwujud.
Minim Taubat Penulis tidak membeberkan fakta lapangan dalam hal ini karena pembaca bisa melihat atau mendengar sendiri secara langsung. Penulis juga tidak akan mengulas masalah ini dengan kaca mata ekonomi, karena penulis bukan seorang ekonom. Yang paling penting bagi penulis secara pribadi sebagai muslim adalah mengkaji masalah ini dari sudut pandang agama. Mengapa sampai terjadi seperti ini? Apa jawabannya ditilik dari sudut pandang agama? Sebagai seorang muslim, sudut pandang agama dalam menimbang sesuatu adalah lebih penting daripada yang lain, perkara yang lain hanyalah akibat atau imbas dari sudut ini.
Dari sisi pandang agama, penulis melihat kesulitan hidup yang menimpa bisa terjadi karena berbagai macam sebab, di antaranya:
Minim Takwa
Takwa berarti menjaga diri dari azab Allah dengan menaatiNya. Karena orang yang bertakwa adalah orang yang dekat kepada Allah, mempunyai kedudukan tinggi di hadapanNya, memiliki derajat terhormat di mataNya, maka tidak mengherankan jika Allah Ta'ala care (memperhatikan) kepadanya. Dia akan memudahkan hidupnya, melapangkan pintu rizkinya, melindunginya dari marabahaya, mengentaskannya dari kesulitan dan menghilangkan kesedihannya, sehingga kehidupannya menjadi kehidupan yang tenang, tenteram dan berhagia.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3). Dua janji mulia dari Allah kepada orang yang bertakwa, jalan keluar, solusi, problem solving dari apa? Dari apa yang kita ingin keluar darinya, dari kesulitan hidup, dari mahalnya harga-harga, dari kemiskinan dan dari… dari yang lainnya. Ibnu Abbas berkata, “Dari segala kesulitan dunia dan akhirat.” Ini satu. Kedua, rizki yang tidak terduga, rezki nomplok kata orang, tidak terbayang di benak, tidak terlintas dalam pikiran, tiba-tiba ia datang menghampiri.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96). Perhatikanlah, “Barakaat.” dengan kata jamak yang menunjukkan jumlah besar, di samping itu kata ini mengandung makna kebaikan, artinya apa yang Allah buka untuk mereka membawa kebaikan bagi mereka, di samping itu kata ini mengandung tetapnya kebaikan itu dan kelanggengannya, tidak mudah dicabut. Perhatikanlah, “Dari langit dan bumi.” Ini berarti ia mengalir dan mengucur dari segala arah. Rizki yang datang dari atas turun dan yang datang dari bawa pun muncul, kemakmuran merambah segala segi, kehidupan menjadi mudah dan keberkahan mengelilingi.
Minim Syukur
Syukur adalah mengakui nikmat dari Allah dengan hati dan lisan dan membuktikannya dengan perbuatan. Siapa yang tidak mengakui nikmat dari Allah dengan hatinya maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui dengan hatinya namun menolak mengungkap dengan kata-kata maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui nikmat dengan hatinya dan mengungkapkan dengan kata-katanya, namun dia tidak membuktikannya dengan perbuatan maka dia belum bersyukur.
Lawan syukur adalah kufur (nikmat), kufur nikmat ini mencabut dan melenyapkannya, bahkan terkadang tidak terbatas pada mencabut dan melenyapkan, ia bisa lebih dari itu yaitu mendatangkan dan menghadirkan, maksud penulis azab dan murka dari Allah Ta'ala. Sejarah membuktikan apa yang penulis katakan. Qarun dengan kemewahannya, akhirnya amblas ditelan bumi karena kekufurannya terhadap nikmat Allah. Tiga orang laki-laki Bani Israil, orang yang terkena penyakit lepra, orang botak dan orang buta, semuanya disembuhkan oleh Allah lalu diberi harta kesukaannya yang akhirnya berkembang melimpah, namun dua orang pertama tidak lulus ujian, alias tidak punya syukur, maka Allah mencabut apa yang telah Dia berikan dan mengembalikan mereka seperti sediakala.
Bangsa Saba` dengan negeri yang makmur, bumi yang subur, hidup berkalang nikmat, hal ini berbalik seratus delapan puluh derajat manakala mereka berpaling dari Pemberi nikmat “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Kepada mereka dikatakan, ‘Makanlah olehmu dari rizki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadaNya. Negerimu adalah negeri yang baik dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Pengampun.’ Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu) melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba`: 15-17).
Bukti-bukti sejarah dari al-Qur`an dan sunnah serta realita kehidupan berjumlah besar dalam hal ini, kalau kita menyinggungnya satu demi satu niscaya halaman ini menjadi panjang lebar, apa yang disebutkan sudah mewakili yang lain. Yang penting dan perlu diingat adalah bahwa minim syukur membuat hidup ini semakin kabur alias tidak jelas dan sulit. Sebaliknya sebaliknya. Mahabenar Allah Ta'ala yang telah berfirman, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu akan tetapi jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih." (Ibrahim: 7).
Realita kehidupan kita secara umum masih menunjukkan minim syukur kalau tidak kufur, banyak bukti yang menguatkan hal ini. Sebagian besar dari kita tidak pernah terlintas di benaknya pada saat dia mendapatkan rizki atau anugerah dari Allah bahwa hal itu semata-mata pemberianNya. Sebagian besar dari kita ketika mendapatkan rizki dan kemudahan hidup tidak menggunakannya dalam rangka meraih ridha Allah sebagai Pemberi, justru sebaliknya dia menggunakannya untuk hal-hal yang mengundang murkaNya, berfoya-foya, menghambur-hamburkan dan menyiakan-nyiakannya. Sikap seperti inilah yang membuat hidup semakin sulit. Seandainya orang-orang yang dilimpahi kenikmatan oleh Allah itu sedikit mau bersyukur dengan menggunakan hartanya demi kebaikan niscaya hidup ini akan lebih mudah dan lebih ringan.
Minim Tawakal
Tawakal menurut Imam al-Ghazali adalah menyandarkan hati hanya kepada al-Wakil (yang ditawakali), yaitu Allah. Penulis menambahkan, dengan mengikuti atau mengambil sebab-sebabnya. Jadi dalam tawakal terdapat dua sisi di mana tawakal belum sempurna tanpa keduanya. Penyandaran hati kepada Allah dan mengambil sebab-sebab. Menyandarkan hati saja tanpa mengambil sebab-sebab bukan tawakal akan tetapi kelemahan. Mengambil sebab-sebab semata dengan tidak menyandarkan hati kepada peletaknya bukan tawakal akan tetapi keangkuhan. Seorang muslim yang baik jangan menjadikan kelemahannya sebagai tawakal, dan tawakalnya sebagai kelemahan, jangan menjadikan keangkuhannya sebagai tawakal dan tawakalnya sebagai keangkuhan.
Dalam wacana kehidupan, yang banyak terjadi adalah lemahnya atau minimnya sisi penyandaran diri kepada Allah Ta'ala, di mana orang-orang hanya menengok kepada sebab-sebab dan menjadikannya sebagai pegangan, yang dibahas dalam forum-forum adalah sekedar teori, penulis tidak antipati dengan hal itu, namun menurut hemat penulis apalah arti dari semua itu jika orang-orangnya berhati kosong dari tawakal dan bersandar kepada Allah? Ini yang terlihat. Alangkah bagusnya jika tawakal ini benar-benar diwujudkan dalam arti yang sebenarnya, ia akan mengurai banyak benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya.
“Sungguh, seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kamu akan diberi rizki seperi burung itu diberi rizki, ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Yang jelas apa yang penulis paparkan merupakan janji dari Allah dan Allah tidak menyelisih janjiNya, kalau pun belum terwujud maka tengoklah diri sendiri, karena di sana pasti terjadi ketimpangan dalam takwa atau sukur atau tawakal sehingga janjiNya belum terwujud.
Hal ini berarti banyak maksiat dan dosa, otomatis dan jelas, karena jika taubat melimpah dalam jumlah besar niscaya dosa dan maksiat menurun, sebaliknya adalah sebaliknya. Jika taubat menghadirkan kelapangan dan kemudahan hidup, maka dosa dan maksiat mendatangkan kesempitan dan kesengsaraan hidup. Kesulitan dan kesusahan yang menimpa suatu masyarakat bisa hadir melalui pintu dosa-dosa. Jika kemungkaran mewabah, kemaksiatan merajalela maka Allah Ta'ala akan murka, akibatnya kesulitan dan kesempitan hidup bisa menjadi sebuah hukuman dariNya.
Perhatikan ucapan Nabi Nuh alaihis salam kepada kaumnya, “Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan menambahkan harta dan anak-anakmu serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12).
Janji kemakmuran dan kemudahan hidup begitu kentara dari balik permohonan ampun kepada Allah. Pertama, hujan lebat, deras dan melimpah sehingga sungai mengalir, telaga melimpah dan bendungan penuh, semua itu multiguna bagi kemudahan hidup manusia. Kedua, tambahan harta dan anak-anak sebagai tanda kemakmuran. Ketiga, kebun sebagai penghasil bahan makanan pokok dan sungai sebagai penopang bagi kebun. Penulis yakin jika ketiga perkara ini terwujud pada sebuah masyarakat maka taraf kehidupan masyarakat tersebut berangsur-angsur membaik dan selanjutnya menjadi masyarakat yang makmur.
Asy-Sya’bi berkata, “Umar bin al-Khatthab keluar meminta hujan bersama orang-orang, dan dia tidak lebih dari mengucapkan istighfar, setelah itu dia pulang, seseorang berkata kepadanya, ‘Aku tidak mendengarmu memohon hujan.’ Umar menjawab, ‘Aku memohon diturunkannya hujan dengan kunci-kunci langit yang dengannya hujan diharapkan turun.’ Lalu Umar membaca ayat di atas.
Imam al-Qurthubi menyebutkan tentang al-Hasan al-Bashri, bahwa seorang laki-laki mengadukan kekeringan kepadanya, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Lalu datang laki-laki kedua mengadukan kesulitan hidup, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Lalu datang laki-laki ketiga mengadukan kemandulan, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Maka seorang hadirin berkata kepadanya, “Orang-orang itu mengadukan perkara-perkara yang tidak sama namun jawaban Anda hanya satu.” Dia berkata, “Aku tidak menjawab dari diriku sendiri, akan tetapi Allah telah berfirman.” Maka al-Hasan membaca ayat di atas.
Kisah ini juga diriwayatkan dari cucu Nabi saw al-Hasan bin Ali semoga Allah meridhainya.
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah) niscaya Allah memberikan jalan keluar dari setiap kesedihan, solusi dari setiap kesempitan dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak terduga.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim,dan dia menshahihkannya. Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq al-Musnad IV/55 berkata, “Sanadnya shahih.”)
Minimnya taubat atau berkurangnya istighfar yang berarti menjamurnya dosa-dosa adalah fenomena yang merebak di sekeliling kita. Hampir tidak ada sisi kehidupan yang steril dari penyimpangan dan pelanggaran. Bahkan dalam beberapa kondisi pelanggaran sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Yang ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi ma’ruf. Kalau sudah begini kesulitan hidup rasanya sulit untuk terangkat.
Minim Perhatian Terhadap Agama
Kurangnya perhatian kepada agama dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dakwah dan pendidikan agama, perjuangan Islam dan kaum muslimin bisa menjadi penyebab kesulitan hidup. Pemilik agama, Allah Ta'ala memperlakukan kita seperti kita berperilaku kepadaNya. Jika kita tidak menolong agamaNya, tidak memperjuangkannya, tidak membelanya, tidak perhatian kepadanya, tidak mendukungnya maka Allah Ta'ala tidak akan menaungi kita dengan pertolongan dan rahmatNya, dalam kondisi demikian tidak mengherankan kalau hidup terasa berat dan sukit. Perhatian dari Allah Ta'ala mungkin diraih dengan memberikan perhatian kepadaNya. Kita menolong Allah maka Allah menolong kita. Dengan itu hidup berubah menjadi ringan dan mudah. “In tanshurullaha yanshurkum.” (Muhammad: 7).
Di antara bentuk perhatian yang bisa kita berikan kepada agama Allah,
Infak di jalanNya
Menyisihkan sebagian rizki halal pemberian Allah untuk dibelanjakan di jalan-jalan kebaikan demi menolong agama Allah. Infak di jalan Allah, karena ia merupakan bukti perhatian kepada agama Allah, mengundang perhatian dari Allah dengan memberi ganti yang sepadan bahkan lebih baik, lebih banyak dan lebih berkah.
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Saba`: 39). Janji penggantian dari Allah terhadap apa yang diinfakkan terwujud jika infak dilaksanakan, dan penggantian dalam konteks ini bisa dengan yang sebanding dan bisa pula dengan yang lebih baik, yang kedua ini lebih sering. Jika pembicaraan dibalik maka hasilnya, orang yang tidak berinfak tidak meraih penggantian sekalipun hartanya lenyap, sedangkan orang yang berinfak, hartanya lenyap tetapi meraih penggantian. Perkara lenyapnya atau habisnya harta adalah perkara pasti, dunia termasuk harta tidak ada yang abadi. Silakan pilih, lenyap tanpa janji diganti atau lenyap dengan janji diganti?
Harta yang kita pegang sejatinya adalah bukan harta kita, ia sekedar pinjaman, pemilik sejatinya adalah Allah Ta'ala, jika pemilik sejatinya memberikan jaminan akan mengganti jika kita membelanjakannya di jalanNya, lalu mengapa hati kita terasa berat melaksanakannya, di samping harta itu bukan hak milik kita?
“Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam, berinfaklah niscaya Aku berinfak kepadamu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Anda berharap Allah Ta'ala berinfak (memberi rizki) kepadamu, syaratnya mudah, berinfaklah di jalanNya dan Dia menjanjikan hal itu. Mudah bukan? Seorang hamba berinfak di jalan Allah lalu Allah pemegang perbendaharaan langit dan bumi, pemilik hak atas segala sesuatu akan berinfak kepadanya. Dijamin.
“Tidaklah para hamba mendapatkan pagi hari kecuali padanya terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan harta kepada orang yang menahan.”
Penulis yakin jika Anda seorang muslim, Anda pasti tidak berkenan mendapatkan doa dari malaikat yang kedua.
Sebuah kenyataan yang memprihatinkan, manusia lebih antusias membelanjakan hartanya buka di jalan Allah tetapi di jalan setan. Bandingkan, betapa sulitnya mengumpulkan rupiah untuk menafkahi sebuah madrasah atau menyelesaikan pembangunan sebuah masjid, tetapi pada saat yang sama betapa mudahnya orang mendapatkan uang untuk konser musik atau untuk menyelesaikan gedung sandiwara.
Perhatian kepada ilmu syar'i
Ilmu syar'i atau ilmu agama, mempelajarinya dan mengajarkannya adalah salah satu bentuk perhatian kepada agama Allah, dengan ilmu syar'i agama akan tegak dan terjaga, para thullabul ilmi dan para ulama berperan sangat vital dalam hal ini, tanpa ilmu syar'i agama akan layu dan terpinggirkan, berganti dengan kebodohan dan ketidaktahuan.
Ilmu memerlukan dukungan biaya dan dana, tanpanya ia berjalan di tempat alias tidak berkembang, para penyandangnya juga memerlukan hidup, hasil maksimal bisa diwujudkan jika sesuatu pekerjaan diberi perhatian dan konsentrasi penuh, agar para penuntut ilmu dan para ulama bisa fokus sepenuhnya kepada tugasnya, maka diperlukan pihak-pihak penopang finansial mereka, dibutuhkan para muhsinin yang menunjang aktifitas mereka dan para muhsinin tersebut meraih peluang kemudahan dan kelapangan hidup.
Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pada zaman Rasulullah saw ada dua laki-laki bersudara. Salah seorang dari mereka mendatangi Nabi saw (untuk belajar), sedangkan yang lain bekerja. Saudara yang bekerja mengadu kepada Nabi saw maka Nabi saw bersabda, “Mudah-mudahan kamu diberi rizki karenanya.” Maksud hadits ini, kamu bekerja dan saudaramu menuntut ilmu, kamu menafkahi saudaramu, tidak menutup kemungkinan rizkimu dari pekerjaanmu itu adalah berkah dari apa yang kamu nafkahkan kepada sudaramu yang menuntut ilmu itu.
Abdullah bin al-Mubarak selalu mengkhususkan pemberiannya kepada para pemerhati ilmu syar'i, suatu hari dia ditanya, “Mengapa engkau tidak memberikannya kepada orang-orang umum?” Dia menjawab, “Aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ahli ilmu. Jika hati para ahli ilmu itu sibuk mencari kebutuhan hidupnya, niscaya dia tidak bisa memberi perhatian kepada ilmu sepenuhnya dan tidak bisa belajar dengan baik. Memberi mereka membuat mereka bisa mempelajari ilmu dengan sepenuhnya dan itu lebih utama.”
Dewasa ini peluang meletakkan kebaikan di lahan ilmu syar'i sangat terbuka lebar, kecenderungan masyarakat kepadanya cukup menggembirakan, lembaga-lembaga yang menanganinya bermunculan, mereka semua memerlukan perhatian finansial. Jika Anda berminat dan bertindak maka pintu kemudahan dan cela kemakmuran akan terbuka dalam hidup Anda. Wallahu a'lam.
Perhatikan ucapan Nabi Nuh alaihis salam kepada kaumnya, “Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan menambahkan harta dan anak-anakmu serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12).
Janji kemakmuran dan kemudahan hidup begitu kentara dari balik permohonan ampun kepada Allah. Pertama, hujan lebat, deras dan melimpah sehingga sungai mengalir, telaga melimpah dan bendungan penuh, semua itu multiguna bagi kemudahan hidup manusia. Kedua, tambahan harta dan anak-anak sebagai tanda kemakmuran. Ketiga, kebun sebagai penghasil bahan makanan pokok dan sungai sebagai penopang bagi kebun. Penulis yakin jika ketiga perkara ini terwujud pada sebuah masyarakat maka taraf kehidupan masyarakat tersebut berangsur-angsur membaik dan selanjutnya menjadi masyarakat yang makmur.
Asy-Sya’bi berkata, “Umar bin al-Khatthab keluar meminta hujan bersama orang-orang, dan dia tidak lebih dari mengucapkan istighfar, setelah itu dia pulang, seseorang berkata kepadanya, ‘Aku tidak mendengarmu memohon hujan.’ Umar menjawab, ‘Aku memohon diturunkannya hujan dengan kunci-kunci langit yang dengannya hujan diharapkan turun.’ Lalu Umar membaca ayat di atas.
Imam al-Qurthubi menyebutkan tentang al-Hasan al-Bashri, bahwa seorang laki-laki mengadukan kekeringan kepadanya, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Lalu datang laki-laki kedua mengadukan kesulitan hidup, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Lalu datang laki-laki ketiga mengadukan kemandulan, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Maka seorang hadirin berkata kepadanya, “Orang-orang itu mengadukan perkara-perkara yang tidak sama namun jawaban Anda hanya satu.” Dia berkata, “Aku tidak menjawab dari diriku sendiri, akan tetapi Allah telah berfirman.” Maka al-Hasan membaca ayat di atas.
Kisah ini juga diriwayatkan dari cucu Nabi saw al-Hasan bin Ali semoga Allah meridhainya.
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah) niscaya Allah memberikan jalan keluar dari setiap kesedihan, solusi dari setiap kesempitan dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak terduga.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim,dan dia menshahihkannya. Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq al-Musnad IV/55 berkata, “Sanadnya shahih.”)
Minimnya taubat atau berkurangnya istighfar yang berarti menjamurnya dosa-dosa adalah fenomena yang merebak di sekeliling kita. Hampir tidak ada sisi kehidupan yang steril dari penyimpangan dan pelanggaran. Bahkan dalam beberapa kondisi pelanggaran sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Yang ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi ma’ruf. Kalau sudah begini kesulitan hidup rasanya sulit untuk terangkat.
Minim Perhatian Terhadap Agama
Kurangnya perhatian kepada agama dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dakwah dan pendidikan agama, perjuangan Islam dan kaum muslimin bisa menjadi penyebab kesulitan hidup. Pemilik agama, Allah Ta'ala memperlakukan kita seperti kita berperilaku kepadaNya. Jika kita tidak menolong agamaNya, tidak memperjuangkannya, tidak membelanya, tidak perhatian kepadanya, tidak mendukungnya maka Allah Ta'ala tidak akan menaungi kita dengan pertolongan dan rahmatNya, dalam kondisi demikian tidak mengherankan kalau hidup terasa berat dan sukit. Perhatian dari Allah Ta'ala mungkin diraih dengan memberikan perhatian kepadaNya. Kita menolong Allah maka Allah menolong kita. Dengan itu hidup berubah menjadi ringan dan mudah. “In tanshurullaha yanshurkum.” (Muhammad: 7).
Di antara bentuk perhatian yang bisa kita berikan kepada agama Allah,
Infak di jalanNya
Menyisihkan sebagian rizki halal pemberian Allah untuk dibelanjakan di jalan-jalan kebaikan demi menolong agama Allah. Infak di jalan Allah, karena ia merupakan bukti perhatian kepada agama Allah, mengundang perhatian dari Allah dengan memberi ganti yang sepadan bahkan lebih baik, lebih banyak dan lebih berkah.
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Saba`: 39). Janji penggantian dari Allah terhadap apa yang diinfakkan terwujud jika infak dilaksanakan, dan penggantian dalam konteks ini bisa dengan yang sebanding dan bisa pula dengan yang lebih baik, yang kedua ini lebih sering. Jika pembicaraan dibalik maka hasilnya, orang yang tidak berinfak tidak meraih penggantian sekalipun hartanya lenyap, sedangkan orang yang berinfak, hartanya lenyap tetapi meraih penggantian. Perkara lenyapnya atau habisnya harta adalah perkara pasti, dunia termasuk harta tidak ada yang abadi. Silakan pilih, lenyap tanpa janji diganti atau lenyap dengan janji diganti?
Harta yang kita pegang sejatinya adalah bukan harta kita, ia sekedar pinjaman, pemilik sejatinya adalah Allah Ta'ala, jika pemilik sejatinya memberikan jaminan akan mengganti jika kita membelanjakannya di jalanNya, lalu mengapa hati kita terasa berat melaksanakannya, di samping harta itu bukan hak milik kita?
“Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam, berinfaklah niscaya Aku berinfak kepadamu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Anda berharap Allah Ta'ala berinfak (memberi rizki) kepadamu, syaratnya mudah, berinfaklah di jalanNya dan Dia menjanjikan hal itu. Mudah bukan? Seorang hamba berinfak di jalan Allah lalu Allah pemegang perbendaharaan langit dan bumi, pemilik hak atas segala sesuatu akan berinfak kepadanya. Dijamin.
“Tidaklah para hamba mendapatkan pagi hari kecuali padanya terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan harta kepada orang yang menahan.”
Penulis yakin jika Anda seorang muslim, Anda pasti tidak berkenan mendapatkan doa dari malaikat yang kedua.
Sebuah kenyataan yang memprihatinkan, manusia lebih antusias membelanjakan hartanya buka di jalan Allah tetapi di jalan setan. Bandingkan, betapa sulitnya mengumpulkan rupiah untuk menafkahi sebuah madrasah atau menyelesaikan pembangunan sebuah masjid, tetapi pada saat yang sama betapa mudahnya orang mendapatkan uang untuk konser musik atau untuk menyelesaikan gedung sandiwara.
Perhatian kepada ilmu syar'i
Ilmu syar'i atau ilmu agama, mempelajarinya dan mengajarkannya adalah salah satu bentuk perhatian kepada agama Allah, dengan ilmu syar'i agama akan tegak dan terjaga, para thullabul ilmi dan para ulama berperan sangat vital dalam hal ini, tanpa ilmu syar'i agama akan layu dan terpinggirkan, berganti dengan kebodohan dan ketidaktahuan.
Ilmu memerlukan dukungan biaya dan dana, tanpanya ia berjalan di tempat alias tidak berkembang, para penyandangnya juga memerlukan hidup, hasil maksimal bisa diwujudkan jika sesuatu pekerjaan diberi perhatian dan konsentrasi penuh, agar para penuntut ilmu dan para ulama bisa fokus sepenuhnya kepada tugasnya, maka diperlukan pihak-pihak penopang finansial mereka, dibutuhkan para muhsinin yang menunjang aktifitas mereka dan para muhsinin tersebut meraih peluang kemudahan dan kelapangan hidup.
Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pada zaman Rasulullah saw ada dua laki-laki bersudara. Salah seorang dari mereka mendatangi Nabi saw (untuk belajar), sedangkan yang lain bekerja. Saudara yang bekerja mengadu kepada Nabi saw maka Nabi saw bersabda, “Mudah-mudahan kamu diberi rizki karenanya.” Maksud hadits ini, kamu bekerja dan saudaramu menuntut ilmu, kamu menafkahi saudaramu, tidak menutup kemungkinan rizkimu dari pekerjaanmu itu adalah berkah dari apa yang kamu nafkahkan kepada sudaramu yang menuntut ilmu itu.
Abdullah bin al-Mubarak selalu mengkhususkan pemberiannya kepada para pemerhati ilmu syar'i, suatu hari dia ditanya, “Mengapa engkau tidak memberikannya kepada orang-orang umum?” Dia menjawab, “Aku tidak mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ahli ilmu. Jika hati para ahli ilmu itu sibuk mencari kebutuhan hidupnya, niscaya dia tidak bisa memberi perhatian kepada ilmu sepenuhnya dan tidak bisa belajar dengan baik. Memberi mereka membuat mereka bisa mempelajari ilmu dengan sepenuhnya dan itu lebih utama.”
Dewasa ini peluang meletakkan kebaikan di lahan ilmu syar'i sangat terbuka lebar, kecenderungan masyarakat kepadanya cukup menggembirakan, lembaga-lembaga yang menanganinya bermunculan, mereka semua memerlukan perhatian finansial. Jika Anda berminat dan bertindak maka pintu kemudahan dan cela kemakmuran akan terbuka dalam hidup Anda. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar
koment :