Misteri problematika modern

Posted on
  • by
  • ابوالياس
  • in
  • Label:
  • Sehari-hari kita kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran, kesederhanaan yang proporsional.
    Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui batas "manusiawi kehambaan" kita kepada Alloh subhananhu wata'ala. Berarti kita tidak memiliki sikap  Wara '.

    Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari wara' itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dan keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki sifat  Wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.

    Adapun makna wara' yaitu :  sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.

    Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, menggabarkan  wara' itu  dalam sabdanya: "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hak yang tidak perlu / tidak bermanfaat."
    Hal senada di sabdakan :


    كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
    "Jadilah dirimu orang yang Wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (Hr : Ibnu Majah)

    Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia meraup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah.

    Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis, lalu sombong. Lalu ia lupa diri.

    Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Alloh Ta'ala.

    Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'i maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury menegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara'. Jadi apa yang menganjal dalam dirimu, tinggalkan saja!".

    Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, namun harus sesuai dengan kitabulloh, sunnah, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikologi manusia tetap sama.

    Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positif, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikologi kita menghadapi norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dan itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan.

    Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Alloh. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian yang telah di sabdakan.

    Karena itu,  Wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan Wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain:

    Wara' menumbuhkan keberanian, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positif.

    Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi.

    Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Alloh ta'ala, karena hakikat Wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Alloh.

    Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Alloh. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan.

    Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita.

    Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita.

    Wara' akan menghantar kita terus menerus mengingat kepada Alloh dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah Wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab dibalik itu, ada Nama Allah subhanahu wata'ala di sana.

    Wara' adalah nuansa majlis Ilahi. Oleh Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majlis Alloh kelak, adalah ahli wara' dan Zuhud."

    Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar.

    Wara' menjauhkan kita dari KKN.

    Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan khalifah yang Wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara.

    Fenomena Wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancurnya hukum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern.

    Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu.
    Mereka mulai terasing dengan Rabbnya, dan merasa tersentak ketika nama Rabbnya disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Alloh diungkapkan.

    Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Alloh ta'ala sebagai RAbbnya, kemudian melupakan NYa sama sekali.

    Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu.

    Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atas nama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.

    Mereka terjebak oleh sebuah permaian, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.

    Alloh dijadikan sebagai lambang bendera, kadang dikibarkan seperti upacara bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius.

    Manusia modern telah kehilangan harga dirinya paling mahal: Fitrahnya sebagai manusia, hamba Alloh.

    Kewara'an telah sirna dari mereka, karena sikap wara' dianggap sebagai ancaman dari kebebasan.

    Wallahu a'lam bishowab....

    0 komentar:

    Posting Komentar

    koment :

     
    Copyright (c) 2011 Moslemblog's byAbu ilyas.