Barangkali mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ  يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu  kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan  tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Al Bukhari 6478)
Al Hafidz Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika  menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah  tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak  diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman  Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم
“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi  Allah.” (QS. An-Nur: 15)
Oleh karena itu, pada artikel ini -dengan memohon pertolongan kepada  Allah- penulis ingin mengingatkan satu hal terkait dengan ayat dan hadis  di atas, yaitu sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di  kalangan kaum muslimin, sekali lagi tidak hanya terjadi pada orang awam  namun juga terjadi pada mereka yang mengaku paham terhadap tsaqafah  islamiyah. Ungkapan yang kami maksud adalah penamaan YAHUDI dengan  ISRAEL. Tulisan ini banyak kami turunkan dari sebuah risalah yang  ditulis oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzhahullah  yang berjudul “Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan Israel”.
Tidak diragukan bahkan seolah telah menjadi kesepakatan dunia  termasuk kaum muslimin bahwa negeri yahudi terlaknat yang menjajah  Palestina bernama Israel. Bahkan mereka yang mengaku sangat membenci  yahudi -sampai melakukan boikot produk-produk yang diduga menyumbangkan  dana bagi yahudi- turut menamakan yahudi dengan israel. Akan tetapi  sangat disayangkan tidak ada seorang pun yang mengingatkan bahaya besar  penamaan ini.
Perlu diketahui dan dicamkan dalam benak hati setiap muslim bahwa  ISRAIL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi  Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.  Allah ta’ala berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ  إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan  yang diharamkan oleh Israil  untuk dirinya sendiri sebelum Taurat  diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)
Israil yang pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘alaihis  salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi,  sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu:  “Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal  yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah kalian mengakui  bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul.” Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.”  (HR. Daud At-Thayalisy 2846)
Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil  yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah).  Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun  (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam  bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir  At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat  Al Baqarah ayat 40)
Telah diketahui bersama bahwa Nabi Ya’qub adalah seorang nabi yang  memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah ta’ala. Allah banyak  memujinya di berbagai ayat al Qur’an. Jika kita mengetahui hal ini, maka  dengan alasan apa nama Israil yang mulia disematkan kepada orang-orang  yahudi terlaknat. Terlebih lagi ketika umat islam menggunakan nama ini  dalam konteks kalimat yang negatif, diucapkan dengan disertai perasaan  kebencian yang memuncak;  Biadab Israil… Israil bangsat…  Keparat  Israil… Atau dimuat di majalah-majalah dan media massa yang  dinisbahkan pada islam, bahkan dijadikan sebagai Head Line News; Israil  membantai kaum muslimin… Agresi militer Israil ke Palestina… Israil  penjajah dunia…. Dan seterusnya… namun sekali lagi, yang sangat  fatal adalah ketika hal ini diucapkan tidak ada pengingkaran atau bahkan  tidak merasa bersalah.
Mungkin perlu kita renungkan, pernahkah orang yang mengucapkan  kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis  salam? pernahkah orang-orang yang menulis kalimat ini di  majalah-majalah yang berlabel islam dan mengajak kaum muslimin untuk  mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta  kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? mengapa mereka tidak  membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini  akan mendatangkan murka Allah – wal ‘iyaadzu billaah – karena  isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis  salam. Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam  tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang yahudi dan bahkan beliau  berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat. Pernahkah mereka  berfikir, apakah Nabi Israil ‘alaihis salam ridha andaikan  beliau masih hidup?!
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا  اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu’min dan mu’minat  tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul  kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)
Allah menyatakan, menyakiti orang mukmin biasa laki-laki maupun  wanita sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan dianggap  sebagai perbuatan dosa, bagaimana lagi jika yang disakiti adalah seorang  Nabi yang mulia, tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada  sekedar menyakiti orang mukmin biasa.
Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri  yahudi dengan Israil termasuk salah satu di antara sekian banyak  konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama  asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil ‘alaihis  salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah  disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela  nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.
Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang yahudi merupakan keturunan  Nabi Israil ‘alaihis salam, akan tetapi ini bukan berarti  diperbolehkan menamakan yahudi dengan nama yang mulia ini. Bahkan yang  berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam  dan para nabi yang lainnya adalah kaum muslimin dan bukan yahudi yang  kafir. Allah ta’ala berfirman:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ  حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan  tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri  dan sekali-kali  bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali  Imran: 67)
إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي  المؤمنين
“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah  orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang  beriman, dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.”  (QS. Ali Imran: 68)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin  untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan di ridai  oleh Allah ta’ala.
* * *
“Sedikitpun kami tidak berniat menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis  salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini sebaliknya, yang kami maksud  adalah yahudi…”
Barangkali ini salah satu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh  sebagian kaum muslimin ketika menerima nasihat ini. Maka jawaban singkat  yang mungkin bisa kita berikan: Justru inilah yang berbahaya, seseorang  melakukan sesuatu yang salah namun dia tidak sadar kalau dirinya sedang  melakukan kesalahan. Bisa jadi hal ini tercakup dalam hadis dari Abu  Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Bukankah semua pelaku  perbuatan bid’ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid’ahannya,  namun justru inilah yang menyebabkan dosa perbuatan bid’ah tingkatannya  lebih besar dari melakukan dosa besar.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di  Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu  ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai  kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka  gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat  Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan  dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah  “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون  مذمماً وأنا محمد
“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan  dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat  Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari)
Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak  menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap  dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa  terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun  nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.
Di samping itu, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu  yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang kaum  muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan  menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala.  Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا  اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah  selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui  batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)
Allah ta’ala melarang kaum muslimin yang hukum asalnya boleh atau  bahkan disyari’atkan – menghina sesembahan orang musyrik – karena bisa  menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala. Dan kita  yakin dengan seyakin-yakinnya, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu  ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini memiliki niatan  sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika  ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak  langsung saja dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung  dari mulut kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina  Nabi Israil ‘alaihis salam.
* * *
Cuma sebatas istilah, yang pentingkan esensinya… bahkan para  ulama’ memiliki kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah.”
Di atas telah dipaparkan bahwa menamakan negeri yahudi dengan Israil  merupakan celaan terhadap Nabi Israil ‘alaihis salam, baik  langsung maupun tidak langsung, baik diniatkan untuk mencela maupun  tidak, semuanya dihitung mencela Nabi Israil ‘alaihis salam  tanpa terkecuali. Dan kaum muslimin yang sejati selayaknya tidak  meremehkan setiap perbuatan dosa atau perbuatan yang mengundang dosa.  Karena dengan meremahkannya akan menyebabkan perbuatan yang mungkin  nilainya kecil menjadi besar. Sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama  bahwa di antara salah satu penyebab dosa kecil menjadi dosa besar  adalah ketika pelakunya meremehkan dosa kecil tersebut.
Bahkan kita telah memahami bahwa mencela, menghina, melakukan tuduhan  dusta kepada seorang Nabi adalah dosa besar. Akankah hal ini kita  anggap ini biasa?! Sekali lagi, akan sangat membahayakan bagi seseorang,  ketika dia mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah,  sementara dia tidak sadar. Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu  perkara besar bagi Allah. (QS. An-Nur: 15)
Untuk kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah”, kita tidak  mengingkari keabsahan kaidah ini mengingat ungkapan tersebut merupakan  kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’. Akan tetapi maksud kaidah  ini tidaklah melegalkan penamaan Yahudi dengan Israel. Karena kaidah ini  berlaku ketika makna istilah tersebut sudah diketahui tidak menyimpang,  sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Hamid Al Ghazali dalam bukunya Al  Mustashfaa fi Ilmil Ushul.
Istilah Israil untuk negeri yahudi telah menjadi konsensus  (kesepakatan) dunia. Kita cuma ikut-ikutan…
Setiap kaum muslimin selayaknya berusaha menjaga syi’ar-syi’ar islam,  misalnya dengan belajar bahasa arab (baik lisan maupun tulisan),  menghafalkan Al Qur’an, dan termasuk dalam hal ini adalah membiasakan  diri untuk menggunakan istilah-istilah yang Allah gunakan dalam Al  Qur’an atau dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  selama istilah tersebut dapat dipahami orang lain.
Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syi’ar islam, para sahabat  terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu sangat  menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah  mengatakan: “Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama  kalian.” Beliau juga mengatakan: “Hati-hati kalian dengan  bahasa selain bahasa arab.” Umar radhiyallahu ‘anhu  membenci kaum muslimin membiasakan diri dengan berbicara selain bahasa  arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat  lainnya radhiyallahu ‘anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu  ‘anhum) menganggap bahasa arab sebagai konsekuensi agama,  sedangkan bahasa yang lainnya termasuk syi’ar kemunafikan. Karena itu,  ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka  segera mengajarkan bahasa arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan  kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla’ Shirathal Mustaqim,  Syaikh Nashir al ‘Aql)
Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah.  Orang-orang arab badui di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki kebiasaan menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan  shalat isya’ yaitu ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh  para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’  dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:
لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة  لإعتامهم بالإبل لحلابها
“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai  shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang  badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan  memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad, dinyatakan  Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim)
Al Quthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti  dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk  memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak  pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘atamah tidak diperbolehkan,  karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini  dalam hadisnya…” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari  karya Al ‘Aini)
Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para sahabat dalam menjaga syi’ar islam. Sampai menjaga  istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu  ‘alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan  shalat isya’ tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna  yang buruk.
***
Lalu dengan apa kita menamai mereka?! Kita menamai mereka sebagaimana  nama yang Allah berikan dalam Al-Qur’an, YAHUDI dan bukan ISRAEL. Dan  sebagaimana disampaikan di atas, hendaknya setiap muslim membiasakan  diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan yang Allah berikan. Hendaknya  kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa ‘alahis  salam dengan NASRANI bukan KRISTIANI, kita namakan hari MINGGU  dengan AHAD bukan MINGGU, kita namakan shalat dengan SHALAT bukan  SEMBAHYANG dan seterusnya selama itu bisa dipahami oleh orang yang  diajak bicara, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap syi’ar-syi’ar  agama islam. Wallaahu waliyyut taufiiq…
***
0 komentar:
Posting Komentar
koment :