Meski matanya buta, Busakorn mampu menghapal Al-Qur'an dengan baik sehingga mendapat penghargaan bergengsi dari Internasional Organization for Memorizing the Qur'an (IOMQ), sebuah organisasi internasional penghapal Al-Qur'an.
Mohammad Islah Busakorn menjadi pemenang pertama dalam lomba kemahiran membaca Al-Qur'an (Mahir bil-Qur'an) yang diselenggarakan oleh organisasi itu di Jeddah, Arab Saudi.
"Alhamdulillah, para juri menilai Saya bagus, tapi Saya harap Saya juga bagus dalam pandangan Allah," kata Busakorn merendah.
Busakorn, bersama rekan senegaranya Humairah Rawoo, seorang gadis berusia 9 tahun dipilih oleh perwakilan IOMQ yang baru-baru ini berkunjung ke Afrika Selatan, untuk ikut dalam kompetisi tersebut. Humairah Rawoo menjadi satu-satunya peserta wanita dalam kompetisi itu.
Mohammad Islah Busakorn kehilangan penglihatannya pada usia 7 tahun. Penderitaan ini menjadi awal perubahan bagi kehidupannya. Pada usia 9 tahun, dengan tekad yang kuat, Busakorn mulai menghapal beberapa surat dalam Al-Qur'an dan pada usia 11 tahun ia memutuskan untuk belajar menghapal Al-Qur'an dibawah pengawasan seorang imam.
Busakorn tidak mengenyam pendidikan formal, karena satu-satunya institusi pendidikan bagi tuna netra di tempatnya tinggal adalah sekolah beragama Budha.
"Saya tinggal di rumah dan mulai mendegarkan bacaan-bacaan Al-Qur'an dari radio tape. Saya tidak pernah bercita-cita menjadi seorang hafidh (penghapal Al-Qur'an), " katanya seraya menjelaskan bahwa penghapal Al-Qur'an di negaranya, Thailand masih sangat jarang.
Keingintahuannya tentang Syariah dan ajaran-ajaran Islam, membawanya ke Afrika Selatan. Dari saudara laki-lakinya ia mengetahui ada sebuah institut pendidikan Islam untuk tuna netra dan mereka yang penglihatannya rusak di Afrika Selatan, namanya Madrasah Noor. Maka pergilah Busakorn ke Afrika Selatan dan mendaftarkan diri ke institut itu pada tahun 1997.
Ditanya apa saran-sarannya buat para penghapal Al-Qur'an, Busakorn mengatakan yang terpenting adalah ingat bahwa Al-Qur'an adalah yang terbaik dari apapun juga. "Kita harus ingat bahwa akan ada kendala dan cobaan dalam perjalanan kita menghapal, tapi kita harus sabar dan berusaha menghadapi segala tantangan," katanya.
Hassen Murchie, Kepala Sekolah Madrasah Noor menyatakan sangat bangga dengan muridnya itu. "Ini sebuah kebanggaan bagi institut dan negara kami, dia bersama para penghapal al-Qur'an dari 60 negara berbeda, tapi ia berhasil mendapatkan gelar mumtaz (tingkat sempurna).
0 komentar:
Posting Komentar
koment :